Imam Syafi'i Kamis, 12 Mei 2011

Inilah goresan pena dari sang ikhwan (ana) yang mendambakan akhwat sholehah, yang bisa bersama untuk mencintai Mu Ya Robbi dan mencintai Muhammad Shalallahu’alaihi wassalam.
Yaa……Rabbi……..

Aku berdoa untuk seorang akhwat yang akan menjadi bagian dari hidupku
Seseorang yang sangat mencintaiMu lebih dari segala sesuatu
Seorang yang akan meletakkanku pada posisi di hatinya setelah Engkau dan Muhammad shallahu’alaihi wassalam

Seseorang yang hidup bukan untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk-Mu dan orang lain
Wajah, fisik, status atau harta tidaklah penting
Yang terpenting adalah hati yang sungguh mencintai dan dekat dengan Engkau
Dan berusaha menjadikan sifat-sifat baikMu ada pada pribadinya
Dan ia haruslah mengetahui bagi siapa dan untuk apa ia hidup
Sehingga hidupnya tidak sia-sia
Seseorang yang memiliki hati yang bijak, tidak hanya otak yang cerdas
Seseorang yang tidak hanya mencintaiku, tapi juga menghormatiku
Seorang yang tidak hanya memujaku, tetapi juga dapat menasehatiku
Seseorang yang mencintaiku bukan karena fisikku, hartaku atau statusku tapi karena Engkau

Seorang yang dapat menjadi sahabat terbaikku dalam setiap waktu dan situasi
Seseorang yang membuatku merasa sebagai lelaki shalehah ketika aku berada di sisinya
Seseorang yang bisa menjadi asisten sang nahkoda kapal
Seseorang yang bisa menjadi penuntun kenakalan balita yang nakal
Seseorang yang bisa menjadi penawar bisa
Seseorang yang sabar mengingatkan saat diriku lancang

Ya..Rabbi……
Aku tak meminta seseorang yang sempurna
Hingga aku dapat membuatnya sempurna di mataMu
Seseorang yang membutuhkan dukunganku sebagai peneguhnya
Seorang yang membutuhkan doaku untuk kehidupannya
Seseorang yang membutuhkan senyumku untuk mengatasi kesedihannya
Seseorang yang membutuhkan diriku untuk membuat hidupnya lebih hidup
Aku tidak mengharap dia semulia Fatimah Radhiyallahuanha, tidak setaqwa Aisyah Radhiyallahuanha ,Pun tidak secantik Zainab Radhiyallahuanha, apalagi sekaya Khodijah Radhiyallahuanha.
Aku hanya mengharap seorang akhwat akhir zaman,
Yang punya cita-cita mengikuti jejak mereka,
Membangun keturunan yang sholeh,
Membangun peradaban,
dan membuat Rasulullah shallahu’alaihiwasalam bangga di akhirat
Karena aku sadar aku bukanlah
orang yang semulia abu baker Radhiyallahu,
Atau setaqwa umar Radhiyallahu, pun setabah Ustman Radhiyallahu,
Ataupun sekaya Abdurrahman bin auf Radhiyallahu, setegar zaid Radhiyallahu
Juga segagah Ali Radhiyallahu, apalagi setampan usamah Radhiyallahu.
Aku hanyalah seorang lelaki akhir zaman
yang punya cita – cinta

Ya…..Rabbii …….
Aku juga meminta, Jadikanlah ia sandaran bagiku
Buatlah aku menjadi ikhwan yang dapat membuatnya bangga
Berikan aku hati yang sungguh mencintaiMu sehingga aku dapat mencintainya dengan sepenuh jiwaku
Berikanlah sifat yang lembut, sehingga auraku datang dariMu
Berikanlah aku tangan sehingga aku mampu berdoa untuknya
Berikanlah aku penglihatan sehingga aku dapat melihat banyak kebaikan dalam dirinya
Berikanlah aku lisan yang penuh dengan kata-kata bijaksana,
Mampu memberikan semangat serta mendukungnya setiap saat
kokohnya benteng tidak bisa dibangun dalam semalam, namun bisa hancur dalam sedetik
Kota Baghdad tak dibangun dalam sehari, namun bisa hancur dalam sekejap
Perkawinan tak dirajut dalam pertimbangan sesaat, namun bisa saja terberai dalam sesaat
Pernikahan, bukanlah akhir dari sebuah perjalanan
Tapi awal sebuah langkah
Karenanya, jadikanlah kelak pernikahan kami sebagai titian
Untuk belajar kesabaran & ridho-Mu, ya Rabbi
Dan bilamana akhirnya kami berdua bertemu, aku berharap kami berdua dapat mengatakan:

” Betapa Maha Besarnya Engkau karena telah memberikan kepadaku pasangan yang
dapat membuat hidupku menjadi sempurna”.
Aku mengetahui bahwa Engkau ingin kami bertemu pada waktu yang tepat
Dan Engkau akan membuat segalanya indah pada waktu yang telah Engkau tentukan….

Astaghfirullah, Wallahu’alam bisshowab

Dari ikhwan yang membutuhkan ampunan Allah azzawajalla, dan mengharapkan doaku 
dikabulkanNYA untuk mendapatkan istri yang sholehah.

Imam Syafi'i Minggu, 01 Mei 2011


Ketika nafas mulai tersengal…
Ketika nyawa sedang meregang…Ketika mata membelalak dan dahi berkeringat…
 
Pintu taubat telah tertutup. Engkau mulai memasuki gerbang kehidupan baru. Sementara istri, anak dan keluarga serta kerabatmu menangis dan merintih disisimu, engkau sedang dalam kesedihan yang mendalam, tidak ada seorang pun yang mampu menyelamatkan dan menghindarkan dirimu dari jemputan Malaikat Maut. Kini, engkau saksikan dan rasakan sendiri peristiwa mengerikan itu, setelah sebelumnya engkau mereguk banyak kenikmatan dan kesenangan tanpa kenal rasa syukur. Telah datang ketentuan Allah kepadamu, lalu nyawamu diangkat ke langit. Setelah itu, kebahagiaan atau kesengsaraankah yang akan engkau dapat?

وتجعلون رزقكم أنكم تكذبون۝ فلولا إذا بلغت الحلقوم۝ وأنتم حينئذ تنظرون۝ ونحن أقرب إليه منكم ولكن لا تبصرون۝ فلولا إن كنتم غير مدينين۝ ترجعو نها إن كنتم صدقين۝ فأما إن كان من المقربين۝ فروح وريحان وجنت نعيم۝ وأما إن كان من أصحب اليمين۝ فسلم لك من أصحب اليمين۝ وأما إن كان من المكذ بين الضالين۝ فنزل من حميم۝ وتصلية
جحيم۝ إن هذا لهو حق اليقين۝ فسبح باسم ربك العظيم۝

“Kamu (mengganti) rizki (yang Allah berikan) dengan mendustakan (Allah). Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal kamu ketika itu melihat, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tapi kamu tidak melihat, maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah). Kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar, adapun jika dia (orang yang mati) termasuk orang yang didekatkan (kepada Allah), maka dia memperoleh rizki serta surga kenikmatan. Dan adapun jika dia termasuk golongan kanan, maka keselamatan bagimu karena kamu dari golongan kanan. Dan adapun jika termasuk golongan orang yang mendustakan lagi sesat, maka dia mendapatkan hidangan air yang mendidih, dan dibakar di dalam neraka. Sesungguhnya (yang disebutkan ini) adalah suatu keyakinan yang benar. Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang Maha Besar.” (QS. Al-Waaqi’ah: 82-96)

Wahai jiwa-jiwa yang tertipu dunia…
Wahai hati yang keras membatu karena hawa nafsu…
Wahai manusia yang lalai dari ketaatan kepada Rabbnya…
Sudahkah engkau mempersiapkan bekal menuju perjalanan panjang dan berat didepanmu?
Sudahkah engkau mengetahui tempat seperti apa yang kelak kau tinggali?
Sudahkah engkau memikirkan semua itu…?
Saudaraku, cukuplah kematian menjadi peringatan untuk kita bahwa dunia hanyalah kebahagiaan semu dan tak berarti apa-apa. Tidakkah engkau dengar sebuah firman Rabbmu yang sanggup menggetarkan gunung,

كل نفس ذا ئقة الموت وإنما توفون أجوركم يوم القيـمة فمن زحزح عن النـار وأدخل الجنـة فقد فاز وما الحيوة الد نيا إلا متع الغرور۝

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari Neraka dan dimasukkan ke dalam Surga maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. ‘Ali Imran: 185)

Tidakkah ayat tersebut mengusik hati yang lama mati? Tidakkah ayat tersebut membuat telinga yang tuli menyimak kembali? Tidakkah ayat tersebut menjadi cambuk diri?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لو تعلمون مل أعلم لضحكتم قليلا ولبكيتم كثبرا

“Seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” (Muttafaq ‘alaih)
Saudaraku, sudahkah datang kepadamu khabar kematianmu? Kapan waktumu? Dimana tempatnya? Seperti apa kondisimu kala itu? Demi Allah, engkau tidak tahu dan engkau tidak akan pernah tahu. Jadi kenapa kau tunda taubatmu? Kau tunda perbaikan dirimu? Kau tunda persiapan perbekalanmu? Apakah “nanti” yang selalu kau katakan untuk taubatmu berada pada jarak yang jauh dengan ajalmu? Apakah “nanti” itu yang kau temui lebih dulu ataukah kematianmu yang datang lebih dulu? Apakah ketika engkau sudah benar-benar mengetahui perih dan pedihnya sakaratul maut, baru engkau akan meminta waktu kepada Rabbmu untuk bertaubat?
حتى إذا جاء أحدهم الموت قال رب ارجعون۝ لعلى أعمل صلحا فيما تركت, كلا, إنها كلمة هو قا إلها۝

“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang diantara mereka, dia berkata, ‘Yaa Rabbku kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal shalih terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkan saja.” (QS. Al-Mu’minun: 99-100)
وليست التو بة لـلذ ين بعملون السيئات حتى إذا حضر أحدهم الموت قال إنى تبت الئن۝

“Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang diantara mereka, (barulah) dia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku bertaubat sekarang.’” (QS. An-Nisaa’: 18)

Seorang penyair berkata,
Mereka katupkan kelopak mataku –setelah berputus asa-
lantas bergegas pergi membelikanku kafan
salah seorang kerabatku berdiri dengan tergesa
pergi ke tukang memandikan mayat agar datang memandikanku
salah seorang mendatangiku lalu melucuti semua pakaianku
dan menelanjangiku sendirian
mengucurkan air dari atas kepalaku dan memandikanku
tiga kali seraya meminta kafan kepada keluargaku
dan mereka mengenakanku baju tanpa lengan dan tanpa jahitan
hanya kamper sebagai bekalku
mereka meletakkanku di dekat mihrab lalu mundur di belakang imam
menshalatiku lalu melepasku
mereka menshalati jasadku dengan shalat tanpa ruku’ dan sujud
Semoga Allah merahmatiku…




Di hari kematianmu, keluarga dan kerabat mengangkat jasadmu di atas pundak, setelah sebelumnya engkau menjadi orang yang mengangkat jasad orang lain. Kala itu, apakah jasadmu ingin supaya mereka mempercepat langkahnya, atau malah jasadmu bingung –hendak dibawa kemana jasadmu itu?
Kemudian, mereka memasukkanmu kedalam lubang sempit dan gelap setinggi dua meter oleh orang-orang yang paling engkau cintai dan keluarga yang paling dekat denganmu. Mereka menutupimu dengan papan sehingga menghalangi cahaya matahari yang hendak masuk ke dalam liang lahatmu. Lalu, mereka menimbun jasadmu dengan tanah sampai tertutupi kuburanmu. Salah seorang dari mereka berkata, “Mintakanlah ampun untuk saudaramu, dan mintakanlah ketetapan iman untuknya, karena sesungguhnya sekarang ia sedang ditanya.”

Tidak berapa lama, mereka semua pergi meninggalkan tubuh dingin dan kaku yang dulunya adalah dirimu yang rupawan. Mereka meninggalkanmu dalam gelap dan dingin. Di sekelilingmu hanyalah tanah dan tanah. Lalu dikembalikanlah ruhmu kepada jasadmu, dan datanglah dua malaikat yang biru kehitam-hitaman untuk bertanya, “Siapa Tuhanmu? Apa agamamu? Siapa Nabimu?” Dengan apakah engkau akan menjawabnya..?
Jika ketika engkau mati, engkau telah bertaubat dan beriman, maka Allah akan meneguhkan jawabanmu, dan engkau bisa mengambil hadiahmu berupa kebahagiaan di akhirat kelak, seperti disebutkan dalam firman-Nya,
يثبت الله الذ ين ءامنوا بالقول الثابت فى الحيوة الدنيا وفى الأخـرة ويضـل الله الظـلمين ويفعل الله ما يشاء۝

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan akhirat, dan Allah menyesatkan orang-orang yang zhalim dan memperbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Ibrahim: 27)

Namun, bagaimana jika ketika engkau meninggal, engkau belum sempat bertaubat? Engkau tidak akan tahu jawaban atas pertanyaan itu. Engkau hanya akan berkata, “Hah… hah… aku tidak tahu!” Kemudian terdengarlah seruan, “Bohong! Baringkan ia di Neraka, dan bukakan pintu Neraka untuknya!” Maka engkau akan merasakan panasnya Neraka, kuburanmu akan menghimpit dan meremukkan seluruh tulang belulangmu. Kemudian datanglah kepadamu seseorang yang berwajah amat buruk, berbau busuk dan berbaju lusuh, ia berkata, “Aku datang kepadamu membawa berita buruk. Inilah hari yang dijanjikan kepadamu.” Maka bertanyalah dirimu tentang dirinya, maka dia menjawab, “Aku adalah amal burukmu.” Kemudian menjadilah dirimu buta, bisu dan tuli, dan tanganmu memegang sebatang besi yang apabila sebuah gunung dipukul dengan besi tersebut maka hancurlah dia hingga menjadi debu. Begitupula dirimu, ketika palu besi itu mengenai dirimu maka rasa sakit yang tiada tertahankan akan membuatmu menjerit hingga lengkingannya terdengar oleh seluruh makhluk, kecuali jin dan manusia. Dan tidak ada yang engkau harapkan setelah itu, melainkan agar Allah tidak menyegerakan Hari Perhitungan.

Wahai calon penghuni kubur, apa yang membuatmu terpedaya oleh dunia? Tidakkah engkau mengetahui bahwa akan tiba waktunya engkau meninggalkan dunia yang engkau cintai ini atau dunia yang akan meninggalkanmu? Mana hartamu yang berlimpah dan rumahmu yang mewah? Mana pakaian-pakaian mahal dan indah yang selalu engkau kenakan itu? Mana keluarga dan kerabat yang selalu engkau bela itu? Mana dirimu yang rupawan itu?
Ketika engkau telah menghuni liang lahat, maka itulah rumahmu. Kafan yang berharga murah dan tidak bermerk, itulah pakaianmu. Aroma kamper adalah wewangianmu. Ulat dan cacing menjadi temanmu. Bayangkan jasadmu setelah terkubur selama tiga hari, seminggu, sebulan. Kala itu, tubuhmu telah menjadi penganan lezat bagi cacing dan ulat –teman-temanmu-, kafanmu terkoyak, mereka masuk ke dalam tulangmu, memutus anggota tubuhmu, merobek sendi-sendimu, melelehkan biji matamu… Itulah kesudahanmu, kesudahan makhluk-makhluk bernyawa.

Demikian saudaraku, cukuplah kematian menjadi peringatan dan nasihat. Cukuplah kematian menjadikan hati bersedih, menjadikan mata menangis, menjadi ajang perpisahan dengan orang-orang yang dicintai dan menjadi pemutus segala kenikmatan dunia.

Wahai saudaraku… setiap hela nafasmu menjadi langkah maju menuju kematian. Maka janganlah menunggu ‘nanti’ untuk bertaubat, tapi bersegeralah, karena engkau tidak pernah tahu sudah sedekat apa kematian itu dengan dirimu.

Yaa Rabbi, janganlah Engkau mengadzabku
Sesungguhnya aku mengakui dosa-dosaku selama ini
Berapa kali aku berbuat kesalahan di dunia
Namun Engkau tetap memberiku karunia dan kenikmatan
Jika aku ingat penyesalanku atas segala kesalahan
Kugigit jariku dan kegeretakkan gigiku
Tiada alasan bagiku kecuali tinggal harapan dan husnuzhanku
Dan ampunan-Mu jika Engkau mengampuniku
Manusia mengira aku orang baik-baik
Padahal aku benar-benar manusia terburuk bila tidak Engkau ampuni....

Imam Syafi'i

 “Ukh, bingung nih mau masak apa buat suami. Ibu saya tadi datang bawa terong, tapi sayang bingung, terongnya harus diapain. Emang terong bisa dimasak apa aja sih, Ukh? Saya nyesel kenapa nggak dari dulu belajar masak…”

Kejadian di atas dialami salah seorang sahabat penulis seminggu pasca-menikah. Berangkat dari kejadian tersebut, penulis merasa perlu berbagi pengalaman bahwa memasak ternyata punya peran tersendiri dalam sebuah rumah tangga. Mungkin kejadian di atas tidak perlu membuahkan masalah jika si istri ternyata piawai dalam hal masak-memasak. Namun, bagaimana dengan mereka yang mengenal bumbu dapur saja tidak bisa?

Pentingkah Memasak?
Memasak merupakan aktivitas yang banyak dilakoni oleh para wanita sejak turun temurun. Meski sekarang tidak sedikit pula laki-laki yang handal memasak, namun dalam kehidupan rumah tangga, memasak tetap harus diperani oleh wanita. Sekilas kita lihat aktivitas ini mungkin sangat remeh-temeh. Tetapi pada prakteknya tidak akan semudah itu. Orang yang mengaku bisa masak pun terkadang suka dihampiri rasa tak percaya diri ketika masakannya harus dicicipi orang lain. Maka tidak heran jika para pengamat seni menempatkan masakan sebagai karya seni yang paling berharga di antara semua karya seni lainnya.

Begitu pentingnya memasak hingga tak jarang kita jumpai banyak orang yang terkagum-kagum dengan seseorang yang menguasai bidang ini. Pun seorang istri yang pintar masak. Dengan keahliannya tersebut akan membuat suaminya betah di rumah dan malas membeli makan di luar. Masakan yang enak bisa menjadi salah satu perekat cinta seorang suami kepada istrinya. Bahkan memasak untuk menyenangkan suami bisa menjadi ladang pahala jika diniatkan untuk ibadah kepada Allah. Karena salah satu ciri istri shalihah adalah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memenuhi semua hal yang disukai suaminya selama tidak dalam bermaksiat kepada Allah.

Memasak Sebagai Ladang Pahala
Saudariku –yang semoga senantiasa dirahmati Allah- apakah kalian menyadari bahwa kegiatan memasak ini ternyata bisa sekaligus menjadi kegiatan ibadah? Sebagai seorang muslimah kita diamanahkan untuk bertanggung jawab atas rumah kita dan menyiapkan makanan kepada semua orang yang ada di dalamnya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya. Penguasa adalah pemimpin, seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya, wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya dan anak-anaknya. Jadi, setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya.” (HR. Bukhari)

Untuk itu tidak ada salahnya bagi seorang muslimah untuk menyiapkan santapan bagi keluarganya sebaik mungkin, demi melayani hamba-hamba Allah yang shalih, semisal suami, anak-anak, orang tua, dan semua orang yang ikut menikmati masakan yang kita masak. Dengan begitu, seorang muslimah akan ikut mengecap pahala yang Allah berikan kepada mereka, di mana sebenarnya kita sudah ikut membantu amal perbuatan mereka.

Memasak tidak hanya sekedar kegiatan meramu bumbu dan bahan makanan hingga terciptalah masakan lezat yang siap santap. Namun memasak juga bisa menjadi media kita untuk memikirkan dan mensyukuri semua nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Jika kita cermati, semuanya adalah rezeki yang telah Allah tentukan kepada kita. Karunia tersebut terlimpah dengan begitu mudah kepada kita setelah melalui proses campur tangan banyak orang.

Kita perhatikan saja sayur-sayuran yang kita santap. Akan kita dapati bahwa di sana ada yang menanaminya, ada yang mengumpulkan panennya, ada penjualnya, serta masih banyak lagi manusia yang berperan di dalamnya. Mereka dijadikan oleh Allah untuk melayani kita dan anggota keluarga kita. Padahal pada hakikatnya Allah-lah yang menanam dan menghidupkan sayuran tersebut sebagaimana firman-Nya, yang artinya,

“Pernahkah kamu perhatikan benih yang kamu tanam? Kamukah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkan?” (Qs. Al Waqi’ah: 63-64)

Begitupun dengan nikmat yang lain yang banyak kita jumpai di meja makan kita. Allah berfirman mengenai hal ini, yang artinya,

“Dan dari langit Kami turunkan air yang memberi berkah, lalu Kami tumbuhkan dengan (air) itu pepohonan yang rindang dan biji-bijian yang dapat dipanen. Dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang tersusun-susun, (sebagai) rezeki bagi hamba-hamba Kami……” (Qs. Qaf: 9-11)

Adapun dalam memasak, hendaklah kita usahakan memasak berdasarkan apa yang menjadi kesukaan suami dan anak-anak serta keluarga kita. Ini semua dilakukan dengan harapan dapat membuat suami dan keluarga bahagia, demi wujud ketaatan kita kepada Allah. Cobalah tanyakan kepada mereka makanan apa saja yang mereka sukai, jika cara tersebut bisa menyenangkan mereka.

Kadang kita dapati seorang suami ternyata lebih pintar memasak daripada istrinya. Jika hal ini yang kita alami, janganlah merasa malu untuk belajar dari suami kita. Kita juga bisa menggunakan momen memasak bersama sebagai kesempatan untuk bercengkrama dengan suami sehingga terciptalah suasana kemesraan yang akan menambah rasa cinta di hati masing-masing.




Mari Memulainya dari Dapur
Saudariku, sebagai seorang muslimah yang ingin selalu meraih ridha Allah di setiap kesempatan, maka kita bisa memanfaatkan waktu-waktu kita di dapur untuk menjadi sarana mendekatkan diri kita kepada-Nya.
Berikut ini hikmah-hikmah yang bisa kita gali dari aktivitas memasak kita sehari-hari:
  1. Saat masakan kita telah matang, maka hadirkanlah dalam benak kita betapa Allah telah menganugerahkan kepada kita nikmat untuk bisa menyelesaikan pekerjaan kita.
  2. Ketika mencium aroma sedap masakan kita, saat itu ingatlah tetangga kita. Sebab bisa jadi tetangga kita juga turut mencium aroma masakan tersebut. Akan lebih baik lagi jika kita menghadiahkan sebagian masakan tersebut kepada mereka, khususnya untuk masakan-masakan spesial yang kita masak. Dengan hal ini akan mengakibatkan tumbuhnya rasa cinta, saling menghargai dan memperbaiki hubungan tetangga.
  3. Dampak yang bisa kita peroleh dari sini adalah tetangga kita akan menghormati dakwah ini. Inilah di antara sarana yang paling sukses dan paling sederhana untuk memperkuat tali hubungan sosial dan menyuburkan sensitivitas perasaan hati kita. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian saling memberi hadiah, maka kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari)
  4. Bagi yang sudah memiliki anak, mulailah untuk membiasakan mereka untuk ikut serta membantu kita memasak. Misalnya bisa dengan mempersiapkan bahan-bahan memasak, sehingga mereka benar-benar terampil. Di samping untuk mengenalkan apa-apa yang ada di dapur, hal ini juga untuk membuat mereka turut merasakan beban berat yang kita pikul. Sehingga mereka akan memberi penghormatan dan akan mudah memahami diri kita.
  5. Ketika mengunjungi kerabat dan teman-teman dekat, kita bisa memilih masakan karya kita sendiri sebagai oleh-oleh untuk mereka.
Terakhir, sebelum melakukan kegiatan memasak, ada aktivitas lain yang biasa sering kita lakukan yakni berbelanja di pasar. Bila kita cermati, kegiatan belanja ini bisa kita gunakan sebagai perkenalan dengan para penjual langganan kita. Ini juga sebagai sarana untuk menjalin tali persaudaraan dengan mereka, atau sebagai bentuk interaksi kita dengan masyarakat, dengan catatan kita tetap harus memperhatikan adab-adab berinteraksi dengan penjual. Kesempatan ini bisa pula menjadi sarana dakwah kita kepada mereka. Di sela-sela interaksi dengan mereka, kita dapat mengenalkan hal-hal yang halal dan haram dalam masalah jual beli, dan hal-hal lain yang mungkin sering dipertanyakan banyak orang.





Mulailah Belajar
Bagi sebagian yang lain, memasak mungkin menjadi masalah bagi mereka. Ada beberapa faktor yang membuat seorang muslimah enggan untuk memasak. Salah satunya adalah rasa malas untuk belajar, di samping juga faktor kesibukan di luar rumah serta banyaknya warung makan yang menawarkan jasa catering untuk mereka yang tidak sempat memasak.

Jika hal tersebut berlangsung terus menerus apakah tidak boros? Bagaimana jika suami atau anak-anak berkeinginan mencoba hasil masakan kita. Apa kita masih akan memilih makanan dari luar terus? Tentu kita tidak ingin seperti itu. Untuk itu, bagi yang belum pintar masak, buanglah rasa malas dan teruslah berlatih. Setelah terbiasa, nanti akan terbukti bahwa memasak itu bukanlah hal yang sulit, apalagi jika diniatkan untuk ibadah.

Untuk memasak kita memang akan sedikit repot. Mempersiapkan segala sesuatunya, dari perapian, peralatan sampai bahan, belum nanti jika sudah selesai harus membersihkan atau membereskan semuanya. Agak melelahkan memang. Namun kelelahan itu akan segera berganti kebanggaan dan kebahagiaan ketika suami dan anak-anak kita menyantap masakannya dengan lahap.

Nah, bagaimana saudariku? Semoga tulisan ini bisa bermanfaat untuk kita semua, terutama bagi penulis sendiri. Kita memohon pertolongan Allah agar selalu memberi kita kemudahan dalam menunaikan tugas-tugas kita sebagai muslimah.

Allahu Ta’ala a’lam.

Maroji’:
  1. Inilah Kriteria Muslimah Dambaan Pria (terj.), Abu Maryam Majdi bin Fathi As-Sayyid, Pustaka Salafiyyah.
  2. Manajemen Istri Shalihah (terj.), Muhammad Husain Isa, Ziyad Books Surakarta.
  3. Majalah Nikah vol. 5, No. 11 Edisi Muharram 1428 H