Imam Syafi'i Jumat, 03 Februari 2012


Tali kekerabatan harus selalu rapat dan erat. Beragam gejala yang berpotensi merenggangkannya mesti diantisipasi dengan cepat, supaya keharmonisan hubungan tetap terjaga, kuat lagi hangat. Semua anggota kerabat akan menikmati rahmat dari Allâh Ta'âla lantaran menjunjung tinggi tali silaturrahim yang sangat ditekankan oleh syariat.

Sebaliknya, ketidakpedulian terhadap hubungan kekerabatan akan dapat menimbulkan dampak negatif. Alasannya, tali silaturrahim lambat laun akan mengalami perenggangan. Pemutusan tali silaturrahim berdampak mengikis solidaritas, mengundang laknat, menghambat curahan rahmat dan menumbuhkan egoisme. Sering terdengar di masyarakat banyaknya kasus putusnya tali silaturrahim dengan berbagai bentuknya. Terhadap pemutusan silaturrahim ini, Islam sangat tegas ancamannya.
Allâh Ta'âla berfirman:


Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa
kamu akan membuat kerusakan di muka bumi

dan memutuskan hubungan kekeluargaan?
Mereka itulah orang- orang yang dila’nati Allâh
dan Allâh tulikan telinga mereka dan Allâh butakan penglihatan mereka. (QS Muhammad/47:22-23)

Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ

Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan silaturrahim.
(HR Bukhari 5984 dan Muslim 2556)

Banyak faktor yang dapat menyulut terjadinya pemutusan tali silaturrahim. Namun ketidaktahuan seseorang tentang itu, membuatnya terjerumus dalam kesalahan.


BENTUK-BENTUK PEMUTUSAN SILATURRAHIM

Anjuran untuk membina tali silaturrahim sangat jelas. Sebagaimana diterangkan Ibnul Atsir rahimahullâh, silaturrahim merupakan cerminan berbuat baik kepada keluarga dekat, berlemah-lembut kepada mereka dan memperhatikan keadaan mereka. Memutuskan tali silaturrahim merupakan tindakan yang berlawanan dengan itu semua.

Fenomena pemutusan tali silaturrahim sering terdengar di tengah masyarakat, terutama akhir-akhir ini, saat materialisme mendominasi. Saling mengunjungi dan menasihati sudah dalam titik yang memprihatinkan. Hak keluarga yang satu ini sudah terabaikan, tidak mendapatkan perhatian yang semestinya. Padahal jarak sudah bukan lagi menjadi halangan di era kemajuan teknologi informasi. Bentuk-bentuk pemutusan silaturrahim yang muncul di tengah masyarakat diantaranya :

1. Tidak adanya kunjungan kepada sanak keluarganya dalam jangka waktu yang panjang, tidak memberi hadiah, tidak berusaha merebut hati keluarganya, tidak membantu menutupi kebutuhan atau mengatasi penderitaan kerabatnya. Yang terjadi, justru menyakiti kerabatnya dengan ucapan atau perbuatan.

2. Tidak pernah menghidupkan spirit senasib dan sepenanggungan dalam kegembiraan maupun kesusahan. Malah orang lain yang dikedepankan daripada membantu keluarga dekatnya.

3. Lebih sering menghabiskan waktu dakwahnya kepada orang lain daripada sibuk dengan keluarga sendiri. Padahal, mereka lebih berhak mendapat kan kebaikan. Allâh berfirman :


Dan berilah peringatan
kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. (QS Asy Syu’ara/26: 214) 4.

Ada juga orang yang mau menjalin tali silaturrahim, jika keluarganya menyambung silaturrahim dengannya. Tapi ia akan mengurainya, jika mereka memutuskannya.


FAKTOR PENYEBAB TERPUTUSNYA SILATURRAHIM

Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa banyak hal yang dapat menyebabkan terputusnya silaturrahim, di antaranya ialah:

1. Ketidaktahuan bahaya memutuskan tali silaturrahim.

Ketidaktahuan seseorang terhadap akibat buruk yang akan dideritanya dalam kehidupan dunia maupun akhirat akibat memutuskan silaturrahim, telah menyebabkannya melakukan pemutusan silaturrahim ini. Sebagaimana juga ketidaktahuan seseorang tentang keutamaan silaturrahim, membuat dia malas dan kurang semangat melakukannya.

2. Ketakwaan yang melemah.

Orang yang melemah ketakwaan serta agamanya, maka dia tidak akan perduli dengan perbuatannya yang memotong sesuatu yang mestinya disambung. Dia tidak pernah tergiur dengan pahala silaturrahim yang dijanjikan Allâh serta tidak merasa takut dengan akibat dari pemutusan silaturrahim ini.

3. Kesombongan.

Sebagian orang, jika sudah mendapatkan kedudukan yang tinggi atau menjadi saudagar besar, dia berubah sombong kepada keluarga dekatnya. Dia menganggap ziarah kepada keluarga merupakan kehinaan, begitu juga usaha merebut hati mereka, dianggapnya sebagai kehinaan. Karena ia meman dang, hanya dirinya saja yang lebih berhak untuk diziarahi dan didatangi.

4. Perpisahan yang lama. 

Ada juga orang yang terputus komunikasi dengan keluarga dekatnya dalam waktu yang lama, sehingga dia merasa terasingkan dari mereka. Mula-mula dia menunda-menunda ziarah, dan itu terulang terus sampai akhirnya terputuslah hubung an dengan mereka. Diapun terbiasa dengan terputus dan menikmati keadaannya yang jauh dari keluarga.

5. Celaan yang berat. 

Ada sebagian orang memiliki perangai buruk, jika dikunjungi oleh sebagian anggota keluarganya setelah terpisah sekian lama, dia menghujani saudaranya itu dengan hinaan dan celaan. Karena dinilai kurang dalam menunaikan haknya dan dinilai terlambat dalam berkunjung. Akibatnya, muncul keinginan menjauh dari orang yang suka mencela ini dan merasa takut untuk menziarahinya lagi karena khawatir dicela.

6. Khawatir memberatkan. 

Ada orang, jika dikunjungi oleh sanak familinya, dia terlihat membebani dirinya untuk menjamunya secara berlebihan. Dikeluarkannya banyak harta dan memaksa diri untuk menghormati tamunya, padahal dia kurang mampu. Akibatnya, saudara-saudaranya merasa berat untuk berkunjung kepadanya karena khawatir menyusahkan tuan rumah.

7. Kurang memperhatikan tamu. 

Sebaliknya Ada orang, jika dikunjungi oleh saudaranya, dia tidak memperlihatkan kepeduliannya. Dia tidak memperhatikan omongannya. Bahkan kadang dia memalingkan wajahnya saat diajak bicara. Dia tidak senang dengan kedatangan mereka dan tidak berterima kasih. Dia menyambut para tamu dengan berat hati dan sambutan dingin. Ini akan mengurangi semangat untuk mengunjunginya.

8. Pelit dan bakhil. 

Ada sebagian orang, jika diberi rizki oleh Allâh berupa harta atau wibawa, dia akan lari menjauh dari keluarga dekatnya, bukan karena ia sombong. Dia lebih memilih menjauhi mereka dan memutuskan silaturrahim daripada membukakan pintu buat kaum kerabatnya, menerima mereka jika bertamu, membantu mereka sesuai dengan kemampuan dan meminta maaf jika tidak bisa membantu. Padahal, apalah artinya harta jika tidak bisa dirasakan oleh kerabat!

9. Menunda pembagian harta warisan. 

Terkadang ada harta warisan yang belum dibagi di antara ahli waris; entah karena malas atau karena ada yang membangkang. Semakin lama penundaan pembagian harta warisan, maka semakin besar kemungkinan akan menyebarnya permusuhan dan saling membenci diantara mereka.
Karena ada yang ingin mendapatkan haknya untuk dimanfaatkan, ada juga ahli waris yang keburu meninggal sehingga ahli warisnya sibuk mengambil haknya mayit yang belum diambilnya, sementara yang lain mulai berburuk sangka kepada yang lainnya. Akhirnya perkara ini menjadi ruwet dan menjadi kemelut yang mengakibatkan perpecahan serta membawa kepada pemutusan silaturrahim.

10. Kerjasama antar keluarga dekat. 

Sebagian orang bekerja sama dengan saudaranya dalam suatu usaha tanpa ada kesepakatan yang jelas. Ditambah lagi, dengan tidak adanya tranparansi. Usaha ini terbangun hanya berdasarkan suka sama suka dan saling mempercayai.
Jika hasilnya mulai bertambah serta wilayah usahanya semakin melebar, mulai timbul benih perselisihan, perbuatan zhalim mulai mengemuka dan mulai timbul prasangka buruk kepada yang lain. Terutama jika mereka ini kurang bertaqwa dan tidak memiliki sifat itsar (yaitu sifat lebih mendahulukan orang lain daripada dirinya), atau salah seorang diantara mereka keras kepala atau salah diantara mereka ini lebih banyak modalnya dibandingkan yang lainnya.

Dari suasana yang kurang sehat ini, kemudian hubungan semakin memburuk, perpecahan tak terelakkan, bahkan mungkin bisa berbuntut ke pengadilan. Akhirnya di persidangan mereka saling mencela.
Allâh Ta'âla berfirman:


Dan sesungguhnya
kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu

sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian yang lain,
kecuali orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal yang shalih;
dan amat sedikitlah mereka ini. (QS Shaad/38:24)

11.  Sibuk dengan dunia. 

Orang yang rakus dunia seakan tidak memiliki waktu lagi untuk menyambung silaturrahim dan untuk berusaha meraih kecintaan kerabatnya.

12. Thalak di antara kerabat.

Kadang thalak tak terelakkan antara suami istri yang memiliki hubungan kerabat. Ini menimbulkan berbagai macam kesulitan baru bagi keduanya, entah disebabkan oleh anak-anak atau urusan-urusan lain yang berkaitan erat dengan thalak atau sebab yang lain.

13.  Jarak yang berjauhan serta malas ziarah. 

Kadang ada keluarga yang berjauhan tempat tinggalnya dan jarang saling berkunjung, sehingga merasa jauh dengan keluarga dan kerabatnya. Jika ingin berkunjung ke kerabat, tempat ia yang tuju itu terasa sangat jauh. Akhirnya jarang ziarah.

14. Rumah yang berdekatan. 

Rumah yang berdekatan juga bisa mengakibatkan keretakan dan terputusnya silaturrahim. Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab radhiyallâhu'anhu, beliau mengatakan:

“Perintahkanlah kepada para kerabat agar saling mengunjungi bukan untuk saling bertetangga”.


Al Ghazali mengomentari perkataan Umar ini:
“Beliau mengucapkan perkataan ini, karena bertetangga bisa mengakibatkan persaingan hak. Bahkan mungkin bisa mengakibatkan rasa tidak suka dan pemutusan silaturrahim”.

Aktsam bin Shaifi mengatakan:
“Tinggallah di tempat yang berjauhan, niscaya kalian akan semakin saling mencintai”
Kadang juga, kedekatan ini menimbulkan masalah. Misalnya, problem yang terjadi antara anak dengan anak bisa merembet melibatkan orang tua. Masing-masing membela anaknya, sehingga menimbulkan permusuhan dan menyebabkan pemutusan silaturrahim.

15. Kurang sabar. 

Ada sebagian orang yang tidak sabar dalam menghadapi masalah kecil dari kerabatnya. Terkadang hanya disebabkan oleh kesalahan kecil, dia segera mengambil sikap untuk memutuskan silaturrahim.

16. Lupa kerabat pada saat mempunyai acara. 

Saat salah seorang kerabat memiliki acara walimah atau lainnya, dia mengundang kerabatnya, baik dengan lisan, lewat surat undangan atau lewat telepon. Saat memberikan undangan ini, kadang ada salah seorang kerabat yang terlupakan. Sementara yang terlupakan ini orang yang berjiwa lemah atau sering berburuk sangka. Kemudian orang yang berjiwa lemah ini menafsirkan kealpaan kerabatnya ini sebagai sebuah kesengajaan dan penghinaan kepadanya. Buruk sangka ini menggiringnya untuk memutuskan silaturrahim.

17. Hasad atau dengki. 

Kadang ada orang yang Allâh anugerahkan padanya ilmu, wibawa, harta atau kecintaan dari orang lain. Dengan anugerah yang disandangnya, ia membantu kerabatnya serta melapangkan dadanya buat mereka. Karena perbuatan yang baik ini, kemudian ada di antara kerabatnya yang hasad kepadanya. Dia menanamkan bibit permusuhan, membuat kerabatnya yang lain meragukan keikhlasan orang yang berbuat kebaikan tadi, dan kemudian menebarkan benih permusuhan kepada kerabat yang berbuat baik ini.

18. Banyak gurau. 

Sering bergurau memiliki beberapa efek negatif. Kadangkala ada kata yang terucap dari seseorang tanpa mempedulikan perasaan orang lain yang mendengarnya. Perkataan menyakitkan ini kemudian menimbulkan kebencian kepada orang yang mengucapkannya. Fakta seperti ini sering terjadi di antara kerabat karena mereka sering berkumpul.

Ibnu Abdil Bâr mengatakan:
“Ada sekelompok ulama yang membenci senda gurau secara berlebihan. Karena akibatnya yang tercela, menyinggung harga diri, bisa mendatangkan permusuhan serta merusak tali persaudaraan”

19.  Fitnah. 

Terkadang ada orang yang memiliki hobi merusak hubungan antar kerabat –iyadzan billah-. Orang seperti ini sering menyusup ke tengah orang-orang yang saling mencintai. Dia ingin memisahkan dan mencerai-beraikan persatuan, serta mengacaukan perasaan hati yang telah menyatu. Betapa banyak tali silaturrahim terputus, persatuan menjadi berantakan disebabkan oleh fitnah. Dan merupakan kesalahan terbesar dalam masalah ini, yaitu percaya dengan fitnah.
Alangkah indah perkataan seorang penyair yang mengingatkan kita:

"Siapa yang bersedia mendengarkan perkataan para tukang fitnah, maka mereka tidak menyisakan buat pendengarnya Seorang teman pun, meskipun kerabat tercinta."


20. Perangai buruk sebagian istri. 

Terkadang seseorang diuji dengan istri yang berperangai buruk. Sang istri tidak ingin perhatian suaminya terbagi kepada yang lain. Dia terus berusaha menghalangi suami agar tidak berziarah ke kerabat. Di hadapan suami, istri ini memuji kedatangan kerabat mereka ke tempat tinggal suami dan menghalangi suami untuk bertamu ke kerabatnya. Sementara itu, ketika menerima kunjungan dari kerabat, dia tidak memperlihatkan wajah gembira. Ini termasuk hal yang bisa menyebabkan terputusnya silaturrahim.

Ada juga suami yang menyerahkan kendali kepada istrinya. Jika istri ridha kepada kerabat, dia menyambung silaturrahim dengan mereka. Jika istri tidak ridha, maka dia akan memutuskannya. Bahkan sampai-sampai sang suami tunduk kepada istrinya dalam berbuat durhaka kepada kedua orang tuanya, padahal keduanya sangat membutuhkannya.

Demikian beberapa sebab yang bisa memutuskan tali silaturrahim. Sebagai orang yang beriman, kita harus menjauhi hal-hal yang dapat menyebabkan terputusnya tali silaturrahim ini. oleh karena itu, hendaklah kita menjaga silaturrahim, memupuknya, serta mencari sarana-sarana yang bisa mengokohkannya, agar tidak terkikis oleh derasnya arus budaya yang merusaknya.
Wallahu a’lam..........




Sumber: Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun IX
Diangkat dari Qathi’ati Ar Rahmi Al Mazhahiru Al Asbabu Subulu Al Ilaji, karya Muhammad bin Ibrahim A  Hamd,  Penerbit, Kementrian Urusan Agama, Wakaf dan Dakwah KSA, Cet. II, Th. 1423 H.

Imam Syafi'i

Perhatikanlah! remaja-remaja yang "mejeng" di mall-mall, pinggir-pinggir jalan atau di pusat-pusat hiburan, maka kita akan melihat pemandangan yang sangat mengherankan. Yang laki-laki kepalanya botak sebelah, rambutnya dicat, pakai anting-anting, kalung, dan lain sebagainya. wanitanya pun tak mau kalah, mereka tidak malu lagi dengan pakaian ketat yang kelihatan pusarnya, rok mini dengan kaos you can see, dan potongan rambut yang tidak karuan. ini semua akibat termakan oleh propaganda yang datang dari negeri barat yang didominasi oleh Yahudi dan Nashrani. Janganlah heran jika lambat laun mode Yahudi dan Nashrani yang menjadi panutan. Padahal Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:

" Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim " . ( QS.Al Maidah :51 )

 Namun ironisnya, sebagian besar remaja kita bangga dengan hal tersebut. mereka bangga dengan pakaian ala barat yang dikenakannya; mereka bangga jika dapat meniru model rambut mereka, mereka bangga jika dapat meniru gaya bicara mereka. Padahal Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- telah mengancam,

 مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

 “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum tersebut” (HR. Abu Dawud (4031), Ahmad (5114), Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath (8327), Ibnu Manshur dalam As-Sunan (2370). Di-hasan-kan oleh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (4347)

 Al-Imam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- berkata, "Hadits ini serendah-rendahnya mengharuskan pengharaman tasyabbuh (menyerupai orang kafir atau fasiq)". [Lihat Iqtidho’ Ash-Shiroth Al-Mustaqim (83)]

 Jadi, tingkatannya sesuai dengan kadar keterlibatannya dalam meniru orang-orang kafir. jika ternyata yang ditirunya adalah perbuatan kekafiran atau kemaksiatan, maka orang tersebut dihukumi sama dengan pihak yang ditirunya.

 perbuatan menyimpang seperti ini merupakan hal yang bersifat naluria, karena setan menampakkan perbuatan ini di hadapan pelakunya sebagai perbuatan baik. Oleh karena itu, para hamba Allah diperintahkan untuk terus memohon kepada Allah agar diberi keteguhan hati berada dalam hidayah-Nya, sehingga tidak bersikap seperti kaum Yahudi dan Nashrani.

 Ketahuilah! tujuan diturunkannya syariat Islam adalah untuk menyelisihi orang-orang non-muslim. Ini merupakan suatu cara untuk menampakkan Islam sebagaimana yang telah diterapkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam hadits-hadits berikut:

 Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

 جُزُّوْا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوْا اللِّحَى وَخَالِفُوْا الْمَجُوْسَ

 “potonglah kumis kalian dan peliharah jenggot kalian; berbedalah kalian dari golongan Majusi (penyembah api)” [HR. Muslim dalam shohih-nya (260), dan Ahmad dalam Al-Musnad (8771) ]

 Hadits tersebut diakhiri dengan perintah yang selaras dengan bagian awalnya, karena perintah menyelisihi orang-orang majusi ialah dengan memotong kumis. Sebab itu merupakan ciri khas mereka yaitu memanjangkan kumis dan memotong jenggot. Oleh karena itu, Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan kita agar menyelisihi mereka.

 Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

 اُعْفُوْا اللِّحَى وَخُذُوْا الشَّوَارِبَ وَغَيِّرُوْا شَيْبَكُمْ وَلَا تَشَبَّهُوْا بِالْيَهُوْدِ وَالنَّصَارَى

 “Biarkanlah jenggot kalian tumbuh, cukurlah kumis kalian, ubahlah (semirlah) uban kalian, dan janganlah kalian menyerupai orang Yahudi dan Nashrani ”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (8657). Di-shohih-kan oleh Al-Arna’uth dalam Takhrij Al-Musnad (2/356)]

 Penyerupaan dalam penampilan lahiriah akan berpengaruh untuk menumbuhkan kasih, cinta, dan kesetiaan dalan batin sebagaimana kecintaan dalam batin akan berpengaruh untuk menimbulkan penyerupaan dalam penampilan lahiriah. Ini adalah masalah yang nyata, baik secara perasaan maupun dalam prakteknya.

 Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

 خَالِفُوْا الْيَهُوْدَ فَإِنَّهُمْ لَا يُصَلُّوْنَ فِيْ نِعَالِهِمْ وَلَا خِفَافِهِمْ

 ”Kalian harus menyelisihi kaum yahudi karena mereka tidak mau shalat dengan memakai sandal ataupun terompah mereka” . [HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (652). Di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ats-Tsamr Al-Mustathob (hal.351)]

 Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

 فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ

 “Perbedaan antara puasa kita dan puasa golongan Ahli Kitab adalah makan sahur”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (1096), Abu Dawud dalam Sunan -nya (2343), An-Nasa’iy dalam Sunan-nya (2166), dan Ahmad dalam Musnad-nya (17796)]

 Abu Abdillah Al-Qurthubiy-rahimahullah- berkata, "Hadits ini menunjukkan bahwa sahur merupakan ciri khas ummat ini (Islam). Diantara perkara yang diberi keringanan di dalamnya, yaitu makan sahur". [Lihat Ad-Dibaj Syarh Shohih Muslim Ibnil Hajjaj (3/197)]

 Ini semua menunjukkan bahwasanya menyelisihi orang-orang kafir adalah tujuan pokok syariat. Namun sangat disayangkan, karena jauhnya umat Islam dari agamanya dan enggannya mereka mempelajari agamanya, semua ini menyebabkan mereka terjatuh di dalam kesalahan ini yaitu meniru kaum kafir mulai dari pakaian, dan cara berpakaian, tradisi, adat, bahasa, perayaan hari raya, dan hari-hari peringatan mereka seperti Hari Valentine, Hari Haloween, dan lain-lain. Sehingga Islam tinggallah sebuah nama. Mengaku muslim, namun pakiannya serba ketat, bahkan nyaris telanjang. Tidak ada lagi ciri-ciri keislaman pada dirinya, sehingga kita sulit membedakan antara wanita muslimah dan wanita kafir; sama-sama tidak memakai jilbab. Kalaupun pakai, yah asal-asalan saja, tanpa memenuhi standar. Padahal jilbab yang sayr’i adalah jilbab yang menutupi seluruh tubuh, tebal (tidak transparan), longgar (tidak ketat sehingga membentuk lekuk tubuh), tidak menyerupai pakaian wanita kafir, dan laki-laki.. [Lihat Jilbab Al-Mar’ah]

 Begitulah realita umat ini, mereka mengikuti langkah-langkah Yahudi dan Nashrani, sejengkal demi sejengkal hingga andai mereka masuk ke lubang biawak pun, niscaya umat Islam akan mengikutinya. Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- telah lama memperingatkan tentang bahaya mengikuti jalan, dan gaya hidup mereka

 Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

 لَتَتَّبِعُنَّ سُنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرِاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوْا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوْهُ قُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ الْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى ؟ قَالَ : فَمَنْ ؟

 ”Sungguh kalian akan mengikuti jejak umat-umat sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehingga kalau mereka masuk ke dalam lubang biawak, niscaya kalian pun akan masuk ke dalamnya”. Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, apakah kaum Yahudi dan Nashara? Maka beliau menjawab:” Siapa lagi(kalau bukan mereka)?”.[HR. Bukhariy dalam Shohih-nya (3269 & 6889), Muslim dalam Shohih-nya (2669), Ahmad dalam Musnad-nya (11817&11861)]

 Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

 لَا تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِيْ بِأَخْذِ الْقُرُوْنِ قَبْلَهَا شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ . فَقِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ كَفَارِسِ وَالرُّوْمِ ؟ فَقَالَ : وَمَنِ النَّاسُ إِلَّا أُوْلَئِكَ ؟

 “Kiamat tidak akan terjadi sampai umatku mengikuti apa yang terjadi pada kurun-kurun sebelumnya. sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta”. lalu ada yang bertanya : “wahai Rasulullah apakah seperti bangsa persia dan Rumawi? beliau menjawab: “manusia siapa lagi kalau bukan mereka”.[HR. Bukhariy (6888) dalam Shohih-nya, dan Ahmad dalam Al-Musnad (8414)]

 Disini Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- memberitahukan bahwa di tengah-tengah umatnya akan ada orang-orang yang meniru perilaku kaum yahudi dan nasrani, dan ada juga yang meniru bangsa Persia dan Romawi. Hal tersebut telah menjadi kenyataan pada hari ini. Lihatlah ketika orang-orang Nashrani merayakan tahun baru mereka, maka umat Islam mengikuti mereka dengan merayakan tahun baru hijriyah atau tahun baru Masehi itu sendiri. Ketika orang Nashrani merayakan kenaikan Isa Al-Masih, maka umat Islam mengikuti mereka dengan merayakan Isra’ dan Mi’raj. Ketika orang Nashrani merayakan hari lahirnya Isa Al-Masih, maka umat Islam mengikuti mereka dengan merayakan maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, dan lain-lain.

 Padahal Allah dan Rasul-Nya tidak pernah memerintahkan mereka untuk merayakan hari-hari itu; tidak satu ayat pun atau hadits shahih yang menjelaskan tentang disyariatkannya memperingati hari-hari tersebut. Para sahabat -radhiyallahu ‘anhum- tidak pernah mencontohkan hal itu. Apakah mereka (yang merayakan perayaan-perayaan ini) merasa lebih baik dan lebih alim daripada Rasulullah dan para sahabatnya? Sehingga ada suatu kebaikan yang luput dari Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- yang tidak disampaikan oleh beliau kepada umatnya. Padahal Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

 “Tidak ada seorang nabi pun sebelumku kecuali wajib baginya untuk menunjukkan kepada umatnya suatu kebaikan yang dia ketahui untuk mereka dan memperingatkan umatnya dari kajelekan yang dia ketahui untuk mereka”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (1844)An-Nasa’iy (4191), dan Ibnu Majah (3956)]

 Tragisnya lagi, jika umat ini mengikuti yahudi dan nashrani dalam perkara yang berkaitan dengan aqidah, seperti menjadikan kubur-kubur sebagai masjid. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- memperingatkan dengan keras kepada umatnya agar jangan menjadikan kubur sebagai masjid. sebagaimana yang banyak diterangkan dalam hadits.

 A’isyah -radhiyallahu ‘anha- berkata, "Pada suatu hari Ummu Salamah menceritakan pengalamannya kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- tentang sebuah gereja bernama Mariah yang pernah ia saksikan di Habasyah ( Ethiopia) yang penuh dengan gambar. Lalu Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

 أُوْلَئِكَإِذَامَاتَمِنْهُمُالرَّجُلُالصَّالِحُبَنَوْاعَلَىقَبْرِهِمَسْجِدًاثُمَّصَوَّرُوْافِيْهِتِلْكَالصُّوْرَةَأُوْلَئِكَشِرَارُالْخَلْقِعِنْدَاللهِ

 “Mereka adalah kaum yang apabila ada seorang yang shalih atau yang baik diantara mereka meninggal dunia, mereka membangungkan masjid di atas kuburannya dan membuat patung-patung di dalamnya. patung-patung itu. Mereka adalah seburuk-buruk makhluk di sisi Allah [HR. Al-Bukhariy dalam Shohih-nya (434), Muslim dalam Shohih-nya (568)]

 Hendaknya setiap orang yang membangun masjid di atas kuburan atau memasukkan kuburan ke dalam lokasi masjid takut terhadap laknat dari Allah -Ta’ala-. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

 لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اِتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبَيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

 “Laknat Allah atas orang-orang Yahudi dan Nashara yang menjadikan kubur-kubur nabi mereka sebagai masjid”. Beliau memperingatkan terhadap apa yang mereka lakukan itu. [HR. Al-Bukhari (435) dan Muslim (531)]

 
Kalau orang yang menjadikan kubur para nabi sebagai masjid saja diancam sedemikian keras, bagaimana lagi kalau yang dijadikan masjid adalah kubur orang yang dianggap wali atau orang shalih lainnya? bagaimana pula dengan kuburnya tokoh-tokoh tertentu yang tidak diketahui asal-usulnya, apakah mereka orang shalih atau tidak?

 Semoga tulisan ini bermamfaat bagi kaum muslimin sehingga berhati-hati untuk tidak mengekor kepada orang-orang kafir dalam segala aspek kehidupan baik aqidah, ibadah, ucapan maupun perbuatan sehingga kita tidak termasuk orang-orang diancam oleh Allah -Subhanahu wa Ta’ala- dalam firman-Nya,

 وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

 "Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali". (QS. An-Nisa :115)

Imam Syafi'i Kamis, 02 Februari 2012

Nasab (silsilah beliau)

Beliau adalah As Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab Bin Sulaiman Bin ‘Ali Bin Muhammad Bin Ahmad Bin Rasyid At Tamimi. Beliau dilahirkan pada tahun 1115 H -bertepatan dengan 1703 M- di negeri ‘Uyainah daerah yang terletak di utara kota Riyadh, dimana keluarganya tinggal.

Beliau tumbuh di rumah ilmu di bawah asuhan ayahanda beliau Abdul Wahhab yang menjabat sebagai hakim di masa pemerintahan Abdullah Bin Muhammad Bin Hamd Bin Ma’mar. Kakek beliau, yakni Asy Syaikh Sulaiman adalah tokoh mufti yang menjadi referensi para ulama. Sementara seluruh paman-paman beliau sendiri juga ulama.

Beliau dididik ayah dan paman-pamannya semenjak kecil. Beliau telah menghafalkan Al Qur’an sebelum mencapai usia 10 tahun di hadapan ayahnya. Beliau juga memperdengarkan bacaan kitab-kitab tafsir dan hadits, sehingga beliau unggul di bidang keilmuan dalam usia yang masih sangat dini. Disamping itu, beliau sangat fasih lisannya dan cepat dalam menulis. Ayahnya dan para ulama disekitarnya amat kagum dengan kecerdasan dan keunggulannya.
Mereka biasa berdiskusi dengan beliau dalam permasalahan-permasalah ilmiyah, sehingga mereka dapat mengambil manfaat dari diskusi tersebut. Mereka mengakui keutamaan dan kelebihan yang ada pada diri beliau. Namun beliau tidaklah merasa cikup dengan kadar ilmu yang sedemikian ini, sekalipun pada diri beliau telah terkumpul sekian kebaikan. Beliau justru tidak pernah merasa puas terhadap ilmu.

Rihlah Beliau dalam Menuntut Ilmu

Beliau tinggalkan keluarga dan negerinya untuk berhaji. Seusai haji, beliau melanjutkan perjalanan ke Madinah dan menimba ilmu dari para ulama’ di negeri itu. Di antara guru beliau di Madinah adalah:

* As Syaikh Abdullah Bin Ibrahim Bin Saif dari Alu (keluarga) Saif An Najdi. Beliau adalah imam bidang fiqih dan ushul fiqih.
* As Syaikh Ibrahim Bin Abdillah putra Asy Syaikh Abdullah bin Ibrahim Bin Saif, penulis kitab Al Adzbul Faidh Syarh Alfiyyah Al Faraidh.
* Asy Syaikh Muhaddits Muhammad Bin Hayah Al Sindi dan beliau mendapatkan ijazah dalam periwayatannya dari kitab-kitab hadits.
Kemudian beliau kembali ke negerinya. Tidak cukup ini saja, beliau kemudian melanjutkan perjalanan ke negeri Al Ahsa’ di sebelah timur Najd. Disana banyak ulama mahdzab Hambali, Syafi’i, Maliki dan Hanafi. Beliau belajar pada mereka khususnya kepada para ulama mahdzab Hambali. Di antaranya adalah Muhammad bin Fairuz , beliau belajar fiqih kepada mereka dan juga belajar kepada Abdullah Bin Abdul Lathif Al Ahsa’i.

Tidak cukup sampai disitu, Bahkan beliau menuju ke Iraq, khususnya Bashrah yang pada waktu itu dihuni oleh para ulama ahlul hadits dan ahlul fiqih. Beliau menimba ilmu dari mereka, khususnya Asy Syaikh Muhammad Al Majmu’i, dan selainnya. Setiap kali pindah maka beliau mendapatkan buku-buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim muridnya, beliau segera menyalinnya dengan pena. Beliau menyalin banyak buku di Al Ahsa’ dan Bashrah, sehingga terkumpullah kitab-kitab beliau dalam jumlah yang besar.

Selanjutnya beliau bertekad menuju negeri Syam, karena di sana ketika itu terdapat ahlul ilmi dan ahlul hadits khususnya dari mahdzab Hambali. Namun setelah menempuh perjalanan ke sana, terasa oleh beliau perjalanan yang sangat berat. Beliau ditimpa lapar dan kehausan, bahkan hampir beliau meninggal dunia di perjalanan. Maka beliaupun kembali ke Bashrah dan tidak melanjutkan rihlahnya ke negeri Syam.

Selanjutnya beliau bertolak ke Najd setelah berbekal ilmu dan memperoleh sejumlah besar kitab, selain kitab-kitab yang ada pada keluarga dan penduduk negeri beliau. Setelah itu beliau pun berdakwah mengadakan perbaikan dan menyebarkan ilmu yag bermanfaat serta tidak ridha dengan berdiam diri membiarkan manusia dalam kesesatan.

Dakwah Beliau

Kondisi keilmuan dan keagamaan manusia waktu itu benar-benar dalam keterpurukan yang nyata, hanyut dalam kegelapan syirik dan bid’ah. Sehingga khurafat, peribadatan kepada kuburan mayat dan pepohonan merajalela. Sedangkan para ulamanya sama sekali tidak mempunyai perhatian terhadap aqidah salaf dan hanya mementingkan masalah-masalah fiqih. Bahkan diantara mereka justru memberikan dukungan kepada pelaku kesesatan-kesesatan tersebut.

Adapun dari segi politik, mereka tepecah belah, tidak memiliki pemerintahan yang menyatukan mereka. Bahkan setiap kampung mempunyai amir (penguasa) sendiri. ‘Uyainah mempunyai penguasa sendiri, begitu pula Dir’iyyah, Riyadh, dan daerah-daerah lainnya. Sehingga pertempuran, perampokan, pembunuhan dan berbagai tindak kejahatan pun terjadi diantara mereka.

Melihat kondisi yang demikian mengenaskan bangkitlah ghirah (kecemburuan) beliau terhadap agama Allah Subahnahu Wata’ala juga rasa kasih sayang beliau terhadap kaum muslimin. Mulailah beliau berdakwah menyeru manusia ke jalan ALlah Subhanahu Wata’ala, mengajarkan tauhid, membasmi syirik, khurafat dan bid’ah-bid’ah serta menanamkan manhaj Salafush Shalih. Sehingga berkerumunlah murid-murid beliau baik dari Dir’iyyah maupun ‘Uyainah.

Selanjutnya beliau mendakwahi amir ‘Uyainah. Pada awalnya sang amir menyambit baik dakwah tauhid ini dan membelanya. Sampai-sampai ia menghancurkan kubah Zaid Bin Al-Khattab yang menjadi tempat kesyirikan atas permintaan Asy Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab. Namun karena adanya tekanan dari amir Al Ahsa’ akhirnya amir ‘Uyainah pun menghendaki agar Asy Syaikh keluar dari ‘Uyainah. Maka berangkatlah beliau menuju ke Dir’iyyah tanpa membawa sesuatupun kecuali sebuah kipas tangan guna melindungi wajahnya.
Beliau terus berjalan di tengah hari seraya membaca (Qur’an surat Ath Thalaq:2-3 yang artinya -red):
“Barang siapa yang bertakwa kepada Allah pasti Allah memberinya jalan keluar dan rizki dari arah yang tiada disangka-sangka”(Ath Thalaq:2-3)

Beliau terus mengulang-ulang ayat tersebut sampai tiba di tempat murid terbaiknya yang bernama Ibnu Suwailim yang ketika itu merasa takut dan gelisah, mengkhawatirkan keselamatan dirinya dan juga syaikhnya karena penduduk negeri itu telah saling memperingatkan untuk berhati-hati dengan syaikh. Maka beliau (Syaikh -red) pun menenangkannya dengan mengatakan, “Jangan berpikir yang bukan-bukan, selamanya. Bertawakallah kepada Allah Subahahu Wata’ala. Niscaya Dia akan menolong orang-orang yang membela agamanya.”

Berita kedatangan Asy Syaikh diketahui seorang shalihah, istri amir Dir’iyyah, Muhammad Bin Su’ud. Dia lalu menawarkan kepada suaminya agar membela syaikh ini karena beliau adalah nikmat dari Allah Subahahu Wata’ala yang dikaruniakan kepadanya, maka hendaklah dia bersegera menyambutnya. Sang istri berusaha menenangkan dan membangkitkan rasa cinta pada diri suaminya terhadap dakwah dan terhadap seorang ulama. Maka sang amir mengatakan, “(Tunggu) beliau datang kepadaku”. Istrinya menimpali “Justru pergilah anda kepadanya, karena jika anda mengirim utusan dan mengatakan ‘datanglah kepadaku’, bisa jadi manusia akan mengatakan bahwa amir meminta beliau untuk datang ditangkap. Namun jika anda sendiri yang mendatanginya, maka itu merupakan suatu kehormatan bagi beliau dan bagi anda.”

Sang amir akhirnya mendatangi Asy Syaikh, mengucapkan salam dan menanyakan perihal kedatangannya. Asy Syaikh Rahimahullah menerangkan bahwa tidak lain beliau hanya mengemban dakwah para Rasul yakni menyeru kepada kalimat tauhid LAA ILAHA ILLALLAH. Beliau menjelaskan maknanya, dan beliau jelaskan pula bahwa itulah aqidah para Rasul. Sang amir mengatakan, “Bergembiralah dengan pembelaan dan dukungan”. Asy Syaikh rahimahullah menimpali, “Berbahagialah dengan kemuliaan dan kekokohan. Karena barang siapa menegakkan kalimat LAA ILAHA ILLALLAH ini, pasti Allah akan memberikan kekokohan kepadanya.” Sang amir menjawab, “Tapi saya punya satu syarat kepada anda.” Beliau bertanya, “Apa itu?” Sang amir menjawab, “Anda membiarkanku dan apa yang aku ambil dari manusia.” Jawab Asy Syaikh rahimahullah, “Mudah-mudahan Allah Subhanahu Wata’ala memberikan kecukupan kepada anda dari semua ini, dan membukakan pintu-pintu rizki dari sisi-Nya untuk anda.” Kemudian keduanya berpisah atas kesepakatan ini. Mulailah Asy Syaikh berdakwah dan sang amir melindungi dan membelanya, sehingga para Thalabul Ilmi (penuntut ilmu) berduyun-duyun datang ke Dir’iyyah.
Semenjak itu beliau menjadi imam sholat, mufti dan juga qadhi. Maka terbentuklah pemerintahan tauhid di Dir’iyyah.

Kemudian Asy Syaikh mengirim risalah ke negeri-negeri sekitarnya, menyeru mereka kepada aqidah tauhid, meninggalkan bid’ah dan khurafat. Sebagian mereka menerima dan sebagian lagi menolak serta menghalangi dakwah beliau, sehingga merekapun diperangi oleh tentara tauhid dibawah komando amir Muhammad Bin Su’ud dengan bimbingan dari beliau rahimahullah.
Hal itu menjadi sebab meluasnya dakwah tauhid di daerah Najd dan sekitarnya. Bahkan amir ‘Uyainah pun kini masuk di bawah kekuasaan Ibnu Su’ud, begitu pula Riyadh, dan terus meluas ke daerah Kharaj, ke utara dan selatan. Di bagian utara sampai ke perbatasan Syam, di bagian selatan sampai di perbatasan Yaman, dan di bagian timur dari Laut Merah hingga Teluk Arab. Seluruhnya dibawah kekuasaan Dir’iyyah, baik daerah kota maupun gurunnya.

Allah Subhanahu Wata’ala melimpahkan kebaikan, rizki, kecukupan, dan kekayaan kepada penduduk Dir’iyyah. Maka berdirilan pusat perdagangan di sana, dan bersinarah negeri tersebut dengan ilmu dan kekuasaan sebagai berkah dari dakwah salafiyah yang merupakan dakwah para Rasul.

Karya-karya Beliau

Karya beliau sangat banyak, dia ntaranya:
* Kitab Tauhid Al Ladzi Huwa Haqqullah ‘ala Al ‘Abid
* Al Ushul Ats Tsalatsah
* Kasfusy Syubhat
* Mukhtasar Sirah Rasul
* Qawaidul ‘Arba’ah dan lainnya

Wafat Beliau

Beliau wafat pada tahun 1206 H. Semoga Allah Subhanahu Wata’la melimpahkan rahmatnya kepada beliau, meninggikan derajat dan kedudukannya di Jannah-Nya yang luas serta mengumpulkan beliau bersama orang-orang shalih dan para syuhada’. Amin Ya Robbal ‘Alamin.


Disarikan dari Syarh Ushul Tsalatsah
Asy Syaikh Muhammad Bin Salih Al Utsaimin, hal 5
dan Syarh Kasyfusy Syubhat
Asy Syaikh Shalih Bin Fauzan Bin Abdullah Al Fauzan, hal 3-12