Imam Syafi'i Senin, 23 Januari 2012


Ikhtilath di Sekolah, Universitas, Rumah Sakit dan Instansi-Instansi sudah merupakan perkara yang biasa dan sudah membudaya, dan hasil dari semua itu dianggap luar biasa. Karena luar biasanya, maka banyak dari umat Islam terpengaruh dan bahkan sampai tergiur
IKHTILATH


 

1 Pengertian Ikhtilath

Ikhtilath menurut bahasa adalah bercampurnya sesuatu dengan sesuatu. (Lihat Lisānul ‘Arab 9/161-162).

Adapun menurut istilah adalah bercampur baur antara laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram pada suatu tempat. (Lihat Al-Mufashal fī Ahkāmil Mar’ah: 3/421).

2 Hukum Ikhtilath

Ikhtilath hukumnya adalah haram secara mutlak, adapun dalil-dalilnya adalah:
- Firman Allah Azza wa Jalla- dalam Surat Al-Ahzāb: 53 :

Allah Azza wa Jalla- berfirman: “Dan apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari balik tabir. Cara demikian itu lebih baik bagi hatimu dan hati mereka.” (Al-Ahzāb: 53).

Ayat ini walaupun diturunkan kepada isteri-isteri Nabi shallallahu alaihi wa sallam- namun mencakup pula untuk semua umat Islam, karena telah tetap dalam qaidah
Syar’iyyah: “Letak pelajaran adalah pada keumuman lafazh bukan pada kekhususan sebab.”

Asy-Syaikh Muhammad bin Shālih Al-Utsaimīn rahimahullah- berkata: “Jika turun ayat dengan sebab yang khusus dan lafazhnya umum, maka hukum yang mencakup sebab turunnya ayat tersebut dan mencakup pula semua perkara yang tercakup dalam makna lafazhnya. Karena Al-Quràn turun dengan syari’at yang umum mencakup semua umat, sehingga letak pelajaran adalah pada keumuman lafazh bukan pada kekhusuan sebab.”(Ushūl fit Tafsīr, hal. 13).

Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah- juga menyatakan: "Ayat yang mulia ini merupakan nash yang jelas tentang wajibnya wanita berhijab dan menutup diri lelaki. Allah -Subhanahu wa Ta`ala- menjelaskan dalam ayat ini bahwa berhijab itu lebih suci bagi hati kaum lelaki dan wanita dan lebih menjauhkan dari perbuatan keji dan sebab-sebabnya. Allah mengisyaratkan bahwa tidak berhijab merupakan kekotoran dan kenajisan sedang berhijab merupakan kesucian dan keselamatan." (At-Tabarruj wa Khatharuhu, hal. 8).

Asy-Syaikh DR. Shālih bin Fauzān Al-Fauzān -hafizhahullah- berkata: "Sekalipun lafadz ayat ini ditujukan kepada para isteri-isteri Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- namun hukumnya umum untuk seluruh wanita yang beriman, karena perintah berhijab itu ditetapkan dengan alasan yang dinyatakan Allah ta`ala dengan firman-Nya: “Yang demikian itu lebih suci bagi hati-hati kalian dan hati-hati mereka.” Alasan seperti ini jelas
berlaku umum, maka keumuman alasannya menunjukkan keumuman hukumnya." (Al-Mukminat, hal. 64)

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz –rahimahullah- berkata: "Hukum yang disebutkan dalam ayat ini berlaku umum untuk istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan selain mereka dari kalangan wanita-wanita kaum mukminin" (Hukmus Sufur wal Hijab, hal. 58).

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz –rahimahullah- berkata: 
“Maka tidak dibenarkan seseorang mengatakan bahwa lebih bersih dan lebih suci bagi para shahabat dan istri-istri Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, sedangkan bagi generasi-generasi setelahnya tidaklah demikian. Tidak diragukan lagi bahwa generasi-generasi setelah shahabat justru lebih butuh terhadap hijab dibandingkan para shahabat, karena perbedaan yang sangat jauh antara mereka dalam hal kekuatan iman dan ilmu. Juga karena persaksian Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- terhadap para shahabat, baik lelaki maupun wanita, termasuk istri-istri Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- sendiri bahwa mereka adalah generasi terbaik setelah para nabi dan rasul, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Demikian pula, dalil-dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah menunjukkan berlakunya suatu hukum secara umum meliputi seluruh umat dan tidak boleh mengkhususkannya untuk pihak tertentu saja tanpa dalil.” (Lihat Fatawa An-Nazhar, hal. 11-10)

Anas bin Malik -radliallahu 'anhu- bercerita tentang awal mula turunnya perintah hijab ini: 
“Aku berusia sepuluh tahun tatkala Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- hijrah ke Madinah. Maka mulailah aku melayani beliau sampai waktu sepuluh tahun dari akhir kehidupan beliau. Aku adalah orang yang paling tahu saat diturunkannya perintah hijab, bertepatan dengan pernikahan Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- dengan Zainab bintu Jahsyin. 

Pagi hari setelah malam pengantin, Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- mengadakan walimah dengan menyajikan roti dan gandum. Aku pun diutus untuk mengundang para shahabatnya. Datanglah undangan sekelompok demi sekelompok, mereka menyantap hidangan kemudian keluar, demikian seterusnya. Aku memanggil semua shahabat beliau hingga tidak tersisa seorang pun kecuali telah menyantap hidangan. Aku katakan kepada beliau, "Wahai Nabi Allah, aku tidak mendapatkan lagi orang yang bisa aku panggil untuk menyantap hidangan walimah ini." Beliau -shallallahu 'alaihi wasallam- berkata, "Bila demikian, angkatlah makanan kalian." 

 Di antara para undangan ada tiga orang yang belum beranjak dari tempat tinggal Nabi
-shallallahu 'alaihi wasallam-, mereka asyik berbincang-bincang, hingga tinggal lama di tempat beliau. 

Beliau pun bangkit dan keluar. Aku ikut keluar bersama beliau agar orang-orang yang masih tinggal tersebut merasa dan berpikir untuk keluar. Rasulullah -shallallahu 'alaihi
wasallam- berjalan, aku pun turut berjalan, hingga beliau sampai di ambang pintu rumah 'Aisyah -radhiallhu 'anha-. 

Lalu berkata: "Assalamu`alaikum wa rahmatullahi wahai
ahlul bait." 'Aisyah menjawab: 

"Wa`alaikassalam wa rahmatullah, bagaimana engkau dapatkan istrimu yang sekarang, semoga Allah memberkahimu." Setelah itu beliau mendatangi rumah istri-istri beliau seluruhnya dan mengatakan sebagaimana perkataan beliau kepada 'Aisyah dan mereka pun mengucapkan kepada beliau semisal dengan ucapan 'Aisyah . Beliau menyangka tiga orang yang berada di rumah beliau telah pergi, beliau pun kembali dan aku ikut menyertai sampai beliau masuk menemui Zainab. Ternyata mereka masih tetap duduk berkumpul di tempat tersebut belum beranjak pergi. Sementara Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- adalah orang yang sangat pemalu . Beliau -shallallahu 'alaihi wasallam- keluar lagi dan aku tetap menyertai, hingga sampai di ambang pintu rumah 'Aisyah. 

Lalu ketika beliau memastikan mereka telah pergi, beliaupun kembali dan aku ikut bersama beliau. Ketika kaki beliau menjejak ambang pintu, beliau pun menutupkan tirai antara aku dan beliau." (HR. Al-Bukhari no. 4793, 5166 dan Muslim no. 1428).


- Firman Allah Azza wa Jalla- dalam Surat An-Nūr: 30-31

Allah Azza wa Jalla- berfirman: 
“Katakanlah kepada wanita-wanita mukminah: Hendaklah mereka menundukkan pandangan mata mereka dan menjaga kemaluan mereka serta jangan menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya. Hendaklah pula mereka menutupkan kerudung mereka di atas leher-leher mereka dan jangan mereka tampakkan perhiasan mereka kecuali di hadapan suami-suami mereka, atau ayah-ayah mereka, atau ayah-ayah suami mereka (ayah mertua), atau di hadapan putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau di hadapan saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka (keponakan laki-laki), atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau di hadapan wanita-wanita mereka, atau budak yang mereka miliki, atau laki-laki yang tidak punya syahwat terhadap wanita, atau anak laki-laki yang masih kecil yang belum mengerti aurat wanita. Dan jangan pula mereka menghentakkan kaki-kaki mereka ketika berjalan di hadapan laki-laki yang bukan mahram agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan dan hendaklah kalian semua bertaubat kepada Allah, wahai kaum mukminin, semoga kalian beruntung.” (An-Nūr: 30-31).

Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata: "Allah menyatakan: 
'Jangan menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya (tidak mungkin ditutupi)',
yakni para wanita tidak boleh menampakkan sesuatu dari perhiasannya kepada lelaki yang bukan mahram kecuali perhiasan yang tidak mungkin disembunyikan, seperti rida dan tsiyab yang dikatakan Ibnu Mas'ud." (Tafsīr Al-Qur'ānil 'Azhīm: 3/294).

Allah Subhanahu wa Ta’ala- dalam ayat di atas memerintahkan kaum wanita agar tidak memperlihatkan perhiasan mereka kecuali di hadapan beberapa orang yang disebutkan dalam ayat. Semua ini dalam rangka berhati-hati dari fitnah. Kemudian Allah mengecualikan perhiasan yang boleh ditampakkan yaitu perhiasan luar yang biasa nampak dan tidak mungkin ditutupi. Karena memang perhiasan wanita itu ada yang dzahir (perhiasan luar) dan ada yang batin (perhiasan dalam). Perhiasan dzahir boleh dilihat oleh semua orang baik dari kalangan mahram maupun yang bukan mahram, adapun yang batin maka tidak halal ditampakkan kecuali di hadapan orang-orang yang Allah sebutkan dalam ayat di atas. (Al-Jami' li Ahkāmil Qur'ān: 12/152).

Allah Azza wa Jalla- berfirman: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menundukkan pandangannya.” (An-Nūr: 30)

Al-Imam Al-Qurthuby rahimahullah- berkata: “Allah Azza wa Jalla- memulai dengan perintah menundukkan pandangan sebelum perintah menjaga kemaluan karena pandangan adalah pancaran hati. Dan Allah memerintahkan wanita-wanita mukminah untuk menundukkan pandangannya dari hal-hal yang tidak halal. Oleh karena itu tidak halal bagi wanita-wanita mukminah untuk memandang laki-laki yang bukan mahramnya.” (Tafsīr Al-Qurtuby: 2/227).

Al-Hafidz Ibnu Katsīr rahimahullah- berkata:
“Mayoritas úlama menjadikan ayat ini sebagai dalil tentang haramnya wanita memandang laki-laki selain mahramnya apakah dengan syahwat atau tanpa syahwat.”
(Tafīr Al-Qur’an Al ‘Adzīm: 3/35).

Al-Imam Asy-Syaukany rahimahullah- berkata: “Ayat ini menunjukkan haramnya bagi wanita memandang kepada selain mahramnya.” (Tafsīr Fathul Qadīr: 4/32).

Al-Hafidz Ibnu Katsīr rahimahullah- berkata:
“Mayoritas ulama menyatakan haram bagi wanita memandang kepada selain mahramnya baik dengan syahwat atau pun tanpa syahwat dan sebagian lagi dari mereka mengatakan bahwa haram bagi wanita memandang dengan syahwat, adapun jika tanpa syahwat maka boleh.” (Lihat Tafsīr Al-Qur’an Al-‘Adzīm: 3/354).

Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- telah menukil kesepakan ulama tentang haramnya memandang kepada selain mahram dengan syahwat.” (Syarh Shahih Muslim: 6/262).

Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- berkata: “Ada dua pendapat dalam masalah hukum wanita memandang tanpa dengan syahwat dan pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah haram, dengan dasar dalil pada surat An-Nūr ayat 31 dan dalil yang paling kuat dalam masalah ini adalah hadits Ummu Salamah. Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha- berkata: 

“Aku pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan Maimunah ada di sisinya, maka datanglah Ibnu Ummi Maktūm dan pada saat itu kami telah diperintah untuk berhijab, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam- bersabda: “Berhijablah kalian darinya!” maka kami berkata: “Bukankah Ibnu Ummi Maktūm adalah orang yang buta? 

Maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Apakah kalian berdua buta?” Bukankah kalian dapat melihatnya?” (HR. Abu Dawud no. 4112, At-Tirmidzi no. 2778, An-Nasaì dalam Al-Kubra no. 9241, Ahmad 6/296 dan Al-Baihaqi: 7/91. 

Al-Imam An-Nawawi menghasankan hadits ini. Dan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddīn Al-Albani mendho’ifkan hadits ini di dalam kitabnya Al-Irwa’ no. 1806, karena di dalam sanadnya ada seorang rawi yang majhūl yang bernama Nabhan maula Ummu Salamah).

Adapun dalil orang-orang yang membolehkan wanita memandang kepada selain mahram dengan tanpa syahwat adalah hadits Àisyah –radhiyallahu ‘anha- ia berkata:

“Aku melihat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- di pintu kamarku dan orang-orang Habasya bermain dalam masjid Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau menghijabiku dengan rida’nya supaya aku dapat melihat permainan mereka.” Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- berkata: “Adapun hadits yang menceritakan tentang Àisyah
–radhiyallahu ‘anha- melihat orang-orang Habasyah bermain dalam masjid ada beberapa kemungkinan, diantaranya pada saat itu Àisyah –radhiyallahu ‘anha- masih belum baliqh.” (Syarh Shahih Muslim: 6/262).

Al-Hafidz Ibnu Hajar ¬–rahimahullah- berkata: “Dalam hadits Àisyah –radhiyallahu ‘anha- tersebut kemungkinannya pada saat itu Àisyah –radhiyallahu ‘anha- hanya melihat
permainan mereka bukan melihat wajah dan badannya mereka dan apabila Àisyah –radhiyallahu ‘anha- sampai melihat mereka maka hal itu terjadi secara tiba-tiba dan tentunya Àisyah –radhiyallahu ‘anha- akan memalingkan pandangannya
setelah itu.” (Al-Fath: 2/5).

Adapun jika pandangan itu tiba-tiba kemudian memalingkan pandangan dan tanpa maksud tertentu maka tidak apa-apa, sebagaimana hadits Jarīr bin Abdillah, beliau berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang memandang secara tiba-tiba, maka memberi perintah: “Palingkan pandanganmu!” (HR. Muslim)

Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- berkata: “Pandangan kepada selain mahram secara tiba-tiba tanpa maksud tertentu pada pandangan pertama maka tidak ada dosa.
Adapun selain itu, apabila meneruskan pandangannya maka hal itu sudah terhitung sebagai dosa.” (Syarh Shahih Muslim: 4/197).

Al-Imam Muhammad Amin Asy-Syinqithy berkata: “Surat An-Nūr ayat 31 ini menjelaskan kepada kita bahwa yang menjadikan mata itu berdosa karena memandang hal-hal yang dilarang, hal ini berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla-: “Dia mengetahui khianatnya pandangan dan apa yang disembunyikan oleh hati.”(Ghafīr: 19).

Asy-Syaikh Salim Ied Al-Hilaly berkata: “Hadits ini menjelaskan bahwa tidak ada dosa pandangan kepada selain mahram secara tiba-tiba (tidak sengaja) akan tetapi wajib untuk memalingkan pandangan berikutnya, karena hal itu sudah termasuk dosa.” (Lihat Bahjatun Nādzirīn: 3/145-146).


- Firman Allah Azza wa Jalla- dalam Surat Al-Ahzāb: 33

Allah Azza wa Jalla- berfirman: “Dan hendaklah kamu tetap dirumahmu.” (Al-Ahzāb: 33).

Al-Imam Al-Qurtuby rahimahullah- berkata: “Makna ayat ini adalah perintah untuk tetap diam dan tinggal dirumah, walaupun yang diperintah dalam ayat ini adalah isteri-isteri Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- namun maknanya masuk juga isteri-isteri selain Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-.” (Tafsīr Al-Qurtuby: 4/179).

- Firman Allah Azza wa Jalla- dalam Surat Al-Isra’: 32

Allah Azza wa Jalla- berfirman: “Dan janganlah kamu mendekati zina!” (Al-Isra’: 32).

Al-Hafidz Ibnu Katsīr rahimahullah- berkata: “Bahwa Allah Azza wa Jalla- mengharamkan zina, begitu pula pendahuluan-pendahuluan yang mengantar kepada perbuatan zina serta sebab-sebabnya secara keseluruhan seperti melihat, ikhtilath, berkhalawat, tabarruj dan selainnya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzīm: 3/39).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: 

“Sesungguhnya Allah –‘azza wa jalla- telah menetapkan bagi setiap bani Adam bagiannya dari zina, ia mengalami hal tersebut secara pasti. Kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang dan kaki zinanya adalah berjalan dan hati berhasrat dan
berangan-angan dan kemaluan yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Bukhari no. 6243 dalam Fathul Bāriy hal. 30).

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah- berkata: “Makna hadits di atas adalah anak Adam itu ditetapkan bagiannya dari zina, maka di antara mereka ada yang melakukan zina secara hakiki yaitu dengan memasukkan kemaluannya ke dalam kemaluan yang haram (baginya). 

Dan di antara mereka ada yang zinanya majazi yaitu dengan memandang yang haram, mendengar perbuatan zina dan hal-hal yang mengantarkan kepada zina, atau dengan sentuhan tangan dimana tangannya meraba perempuan yang bukan mahramnya atau menciumnya, atau kakinya melangkah untuk menuju ketempat berzina, atau untuk melihat zina atau untuk menyentuh wanita yang bukan mahram atau untuk melakukan pembicaraan yang haram dengan wanita yang bukan mahram dan yang semisalnya, atau ia memikirkan dalam hatinya. Maka semuanya ini termasuk zina yang majazi. Sementara kemaluannya membenarkan semua itu atau mendustakannya, terkadang ia merealisasikan zina tersebut dengan kemaluannya dan terkadang ia tidak merealisasikannya dengan tidak memasukkan dalam kemaluan yang haram sekalipun dekat dengannya.” (Syarh Shahih Muslim: 16/206).

Al-Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata: “Sesungguhnya zina tidak khusus pengitlakkan hanya pada kemaluan, bahkan dia termasuk pengitlakkan atas apa-apa yang selain dari kemaluan baik mata atau yang selainnya.” (Fathul Bāriy, hal. 30)
Ibnu Baththal rahimahullah- berkata: “Mata, mulut dan hati dinyatakan berzina karena semuanya itu mengajak kepada zina yang hakiki (dan kemaluan yang membenarkan atau mendustakannya).” (Fathul Bāriy, hal. 31).

Al-Imam Ibnu Qayyim rahimahullah- berkata: “Pandangan mata adalah asal dari seluruh bencana yang menimpa manusia. Dari pandangan akan melahirkan lintasan di hati. Lintasan di hati akan melahirkan pikiran, sehingga timbul syahwat. Dan dari syahwat lahir keinginan yang kuat yang akan menjadi kemantapan yang kokoh, dari sini pasti akan terjadi perbuatan di mana tidak ada seorang pun yang dapat mencegah dan menahannya. Karena itulah bersabar menahan pandangan itu lebih mudah dari pada bersabar menanggung kepedihan setelahnya.”

Seorang penyair berkata:
Setiap kejadian berawal dari pandangan
dan api yang besar itu berasal dari
percikan bunga api yang dianggap kecil
Berapa banyak pandangan mata itu
mencapai kehati pemiliknya
seperti busur dan tali busurnya
Selama seseorang hamba membolak-balikkan
pandangannya menatap manusia,
dia berdiri di atas bahaya
pandangan adalah kesenangan yang membinasakan,
hunjaman yang memudharatkan.”
(Ad-Da’u wad Dawa’, hal. 234).



3 Adakah Ibadah Dilaksankan dengan Berikhtilath?

-Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Jangan kalian melarang hamba-hamba Allah yang perempuan (untuk menghadiri) masjid-masjid Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah- berkata: “Hadits ini menunjukkan bolehnya perempuan untuk ke masjid menghadairi shalat berjama’ah, jika apabila memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh syari’at. Diantaranya tidak keluar dengan menggunakan wangi-wangian, tidak berpakaian menyolok dan tidak berikhtilat.” (Syarh Shahih Muslim: 2/83).

- Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam- bersabda: “Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang paling depan dan yang sejelek-jelek shaf laki-laki adalah yang paling belakang dan sebaik-baik shaf perempuan adalah yang paling belakang dan sejelek-jelek shaf perempuan adalah yang paling depan.” (HR. Muslim: 1/326 no. 440, dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-).

Al-Imam An-Nawawi berkata: “Adapun shaf laki-laki umumnya yang paling baik selama-lamanya adalah shaf yang pertama, yang paling jelek selama-lamanya adalah shaf yang terakhir. Adapun shaf perempuan yang paling baik adalah yang paling belakang. Hal ini dikarenakan agar keadaan shaf perempuan dan laki-laki saling menjauh sehingga tidak terjadi ikhtilath dan saling memandang satu sama lainnya.”
(Lihat Syarh Shahih Muslim dan As-Sirājul Munīr fī Ahkāmis Shalati wal Imāmi wal
Ma’mumīn, hal. 231-232).

Al-Imam Ash-Shan’any rahimahullah- berkata: “Dalam hadits ini menjelaskan sebab disunnahkannya shaf perempuan berada di belakang shaf laki-laki supaya keadaan tempat perempuan dan laki-laki dalam shalat berjauhan, sehingga tidak terjadi ikhtilath diantara mereka.” (Lihat Subulus-Salām).

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah- berkata: “Penyebab kebaikan shaf perempuan berada di belakang shaf laki-laki adalah karena supaya tidak terjadi ikhtilath diantara mereka.” (Nailul Authar: 3/189).

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin –rahimahullah- berkata: “Hal ini dikarenakan dekatnya shaf terdepan wanita dari shaf terakhir lelaki sehingga merupakan shaf terjelek, dan jauhnya shaf terakhir wanita dari shaf terdepan lelaki merupakan shaf yang terbaik. Apabila pada ibadah shalat yang disyariatkan secara berjamaah, maka bagaimana kiranya jika di luar ibadah? Kita mengetahui bersama, dalam keadaan dan suasana ibadah tentunya seseorang lebih jauh dari perkara-perkara yang berhubungan dengan syahwat. Maka bagaimana sekiranya ikhtilath itu terjadi di luar ibadah? Sedangkan setan bergerak dalam tubuh Bani Adam begitu cepatnya mengikuti peredaran darah. Bukankah sangat ditakutkan terjadinya fitnah dan kerusakan besar karenanya?” 
(Lihat Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 45).

-Ummul Mukminin Àisyah radhiyallahu ‘anha- berkata: “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- shalat subuh pada saat masih gelap maka para perempuan kaum mukminin kembali dan mereka tidak dikenali karena masih gelap atau sebagian mereka tidak mengetahui sebagian yang lain.” (HR. Bukhari).

Hadits ini serupa dengan hadits Ummu Salamah, ia berkata: “Sesungguhnya para perempuan di zaman Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bila mereka salam dari
shalat wajib, maka mereka berdiri dan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- serta orang-orang yang shalat bersama beliau dari kalangan laki-laki tetap di tempat mereka selama waktu yang diinginkan oleh Allah, bila Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- berdiri maka para lelaki berdiri pula.” (HR. Bukhari).

Al-Imam Asy-Syaukani –rahimahullah- berkata: “Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang dibencinya ikhtilath antara laki-laki dan perempuan dalam perjalanan dan hal ini lebih terlarang lagi ketika ikhtilath terjadi pada suatu tempat.” (Lihat Nailul Authar: 2/315).

Al-Imam Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata: “Jika dalam shalat berjama’ah terdapat laki-laki dan perempuan maka disunnahkan bagi laki-laki untuk tidak meninggalkan tempat sampai perempuan keluar meninggalkan jama’ah sebab kalau tidak, maka hal ini akan membawa pada ikhtilath.” (Al-Mughny: 2/560).

- Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu- berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- berdiri pada Iedul Fitri untuk shalat, maka beliau memulai dengan shalat kemudian berkhutbah. Tatkala beliau selesai, beliau turun dan mendatangi para perempuan kemudian memberikan peringatan kepada mereka.” (HR. bukhari).

Al-Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata: “Perkataan: Kemudian beliau mendatangi para perempuan” Ini menunjukkan bahwa tempat perempuan terpisah dengan tempat laki-laki, tidak dalam keadaan ikhtilath.” (Lihat Fathul Bāry: 2/66).

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah- berkata: “Hadits ini menjelaskan bahwa perempuan-perempuan apabila menghadiri shalat jama’ah yang mana jama’ah tersebut dihadiri pula oleh para laki-laki maka perempuanj terpisah dengan dari tempat laki-laki, hal ini untuk menghindari fitnah, saling memandang dan berbicara.” (Syarh Shahih Muslim: 2/535).

- Ummul Mukminin Àisyah radhiyallahu ‘anha- berkata: “Saya meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam-untuk berjihad, maka Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabad: “Jihad kalian (para perempuan) adalah berhaji.” (HR. Bukhari dari Àisyah –radhiyallahu ‘anha-).

Ibnu Baththal –rahimahullah- berkata: “Hadits ini menunjukkan bahwa jihad tidak diwajibkan bagi perempuan, hal ini disebabkan karena perempuan apabila berjihad maka
tidak akan mampu menjaga dirinya dan juga akan terjadi percampur bauran antara laki-laki dan perempuan.” (Fathul Bary: 6/75-76).



4 Fenomena Aktual di Sekolah, Universitas, Rumah Sakit dan Instansi-Instansi.

Ikhtilath di Sekolah, Universitas, Rumah Sakit dan Instansi-Instansi sudah merupakan perkara yang biasa dan sudah membudaya, dan hasil dari semua itu dianggap luar biasa. Karena luar biasanya, maka banyak dari umat Islam terpengaruh dan bahkan sampai tergiur yang pada akhirnya timbullah angan-angan untuk meraih yang mereka angan-angankan, merekapun mulai mencoba yang pada akhirnya terasa semakin asyik sehingga melahirkan keberanian dalam menerjang larangan-larangan Rabbnya, Na’uzu billah min zalik.Sungguh telah cukup bagi kami untuk mencantumkan beberapa point dari fatwa para ulama kita, tentang betapa bahaya dan ngerinya tentang perkara ikhtilath ini:

- Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz _rahimahullah- berkata: “Barangsiapa yang mengatakan boleh ikhtilath disekolah-sekolah dan yang lainnya dengan alasan bahwa perintah berhijab hanya khusus untuk isteri-isteri Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- maka perbuatan ini jauh dari petunjuk serta menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah yang telah menunjukkan hukum hijab berlaku umum, sebagaimana firman-Nya: “Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 10).

- Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah- berkata: “Sesungguhnya tidak boleh bagi setiap orang laki-laki dan perempuan untuk belajar di sekolah-sekolah yang terjadi iktilath didalamnya, disebabkan karena bahaya yang besar yang akan mengancam kesucian dan akhlak mereka. Tidak ada keraguan bahwa orang yang bagaimana pun sucinya dan mempunyai akhlak yang tinggi, bagaimana jika disamping tempat duduknya ada perempuan, terlebih lagi bila perempuan itu cantik lalu menampakkan kecantikannya maka sangatlah sedikit yang bisa selamat dari fitnah dan kerusakan. Oleh karena itu segala yang membawa kepada kerusakan dan fitnah adalah haram.” (Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 23).

- Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz _rahimahullah- berkata: “Adapun ikhtilath antara laki-laki dan perempuan di tempat kerja atau instansi-instansi sedang mereka adalah kaum muslimin, maka hukumnya haram dan wajib bagi yang memiliki wewenang di tempat tersebut untuk memisahkan tempat (ruangan) antara laki-laki dan perempuan. Sebab ikhtilath terdapat kerusakan yang tidak samar lagi bagi seorang pun.” (Fatawa
Hai’ah Kibaru Ulama: 2/613 dan Fatawa Ulama Baladi Haram, hal. 532).

- Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah- berkata: “Perempuan yang keluar dari rumahnya merupakan perkara yang menyelisihi hukum asal. Dan masuknya mereka di rumah sakit yang di dalamnya ada campur baur antara laki-laki dan perempuan merupakan ikhtilath yang tidak diperbolehkan didalam Islam.
Seandainya ada rumah sakit khusus untuk wanita, para pekerjanya juga wanita, begitu pula pasien dan para perawatnya. Seharusnya memang negeri-negeri Islam ada rumah sakit yang seperti itu, yang mana para wanita secara khusus yang mengurusinya, baik dokter, direktur, para pekerjanya dan yang semisalnya. Adapun apabila rumah sakitnya ada ikhtilath, maka kami nasehatkan agar wanita muslimah yang beriman kepada Rabbnya agar bertaqwa kepada Allah dan hendaknya ia tetap tinggal dirumahnya.” (Al-Hawi min Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 75).

- Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz _rahimahullah- berkata: “Bekerjanya perempuan ditempat yang terdapat laki-laki di dalamnya adalah perkara yang sangat berbahaya. Dan diantara penyebab terbesar adalah munculnya kerusakan yang disebabkan karena ikhtilath yang mana hal itu merupakan jalan-jalan yang paling banyak
menyebabkan terjadinya perzinahan.(Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 44).

Wallahu A'lam.

Imam Syafi'i

Yang namanya musibah tentu rasanya tidak mengenakkan. Makanya banyak manusia merasa tidak suka bila hidupnya tiba-tiba menjadi menderita karena musibah. Kehidupan yang selama ini mapan bisa hancur tak bersisa. Tidak sedikit di antara mereka yang mengalami kesedihan berlarut-larut hingga menyebabkan stress. Bagaimana kiat menghadapi musibah secara benar dan bijak?

Yang namanya musibah tentu rasanya tidak mengenakkan. Makanya banyak manusia merasa tidak suka bila hidupnya tiba-tiba menjadi menderita karena musibah. Kehidupan yang selama ini mapan bisa hancur tak bersisa. Tidak sedikit di antara mereka yang mengalami kesedihan berlarut-larut hingga menyebabkan stress. Bagaimana kiat menghadapi musibah secara benar dan bijak?

Dalam menapaki kehidupan dunia yang fana ini, manusia senantiasa dihadapkan pada dua keadaan, bahagia atau sengsara. Perubahan keadaan itu bisa terjadi kapan saja sesuai dengan takdir Allah Subhanahu wa Ta'ala. Namun hanya orang yang beriman yang bisa lurus dalam menyikapi silih bergantinya situasi dan kondisi. Hal ini karena ia meyakini keagungan dan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala serta tahu akan kelemahan dirinya.

Tidak dipungkiri, musibah dan bencana akan selalu menyisakan kesedihan dan kepedihan. Betapa tidak, sekian orang yang dicinta kini telah tiada. Harta benda musnah tak tersisa. Berbagai agenda dan acara pun harus tertunda. Bahkan segenap pikiran tercurah untuk meratapi diri.
Kondisi yang menyayat ini terkadang menggugah orang yang dalam hatinya ada sifat rahmat dan belas kasih. Sehingga uluran tangan dan bela sungkawa pun mengalir dari berbagai arah. Intinya, meringankan penderitaan orang yang terkena bencana. Nilai kepedulian yang datang dari orang lain jelas memberi arti. Namun yang terpenting adalah bagaimana menghibur hati orang yang menderita itu serta menumbuhkan seribu harapan untuk menatap masa depannya. Hal ini penting, karena bantuan dari manusia bisa terputus, dan orang yang kemarin membantu mungkin saja kini justru perlu dibantu.

Ini ketika mereka membantu dengan tulus dan tidak ada tendensi lain. Maka bagaimana kiranya jika kebanyakan orang yang membantu punya tujuan-tujuan politis atau bahkan para misionaris yang ingin menancapkan cakarnya di tubuh orang-orang yang lemah untuk dimurtadkan?
Maka sudah seharusnya kita umat Islam menjadi orang-orang yang terdepan dalam memberikan bantuan kepada orang-orang yang sedang ditimpa musibah, baik bantuan moril ataupun materil. Kita paparkan di hadapan umat tentang keagungan syariat ini serta keindahannya, dan bahwa Islam ini mampu menjawab problematika zaman. Kita sampaikan hiburan yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rasul-Nya serta petuah para salaf umat ini.

Hakikat Musibah
Musibah adalah perkara yang tidak disukai yang menimpa manusia. Berkata Al-Imam Al-Qurthubi: “Musibah adalah segala apa yang mengganggu seorang mukmin dan yang menimpanya.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 2/175)

Macam-macam Musibah
Sungguh musibah beragam bentuknya. Ada yang menimpa jiwa seseorang, tubuhnya, hartanya, keluarganya, dan yang lainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِنَ اْلأَمْوَالِ وَاْلأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِيْنَ

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 155)
Ath-Thabari berkata: “Ini adalah pemberitaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada para pengikut Rasul-Nya, bahwa Ia akan menguji mereka dengan perkara-perkara yang berat, supaya (nyata) diketahui orang yang mengikuti rasul dan orang yang berpaling.” (Jami’ul Bayan, 2/41)

Pentingnya Istirja’ ketika Musibah
Istirja’ adalah ucapan:

إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهَ رَاجِعُوْنَ

“Sesungguhnya kita milik Allah dan kepada-Nya kita kembali.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَبَشِّرِ الصَّابِرِيْنَ. الَّذِيْنَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ. أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُوْنَ

“Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan: ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.’ Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-Baqarah: 155-157)
Shahabiyah Ummu Salamah menyebutkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيْبُهُ مُصِيْبَةٌ فَيَقُوْلُ مَا أَمَرَهُ اللهُ: إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيْبَتِي وَاخْلُفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا؛ إِلاَّ أَخْلَفَ اللهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا

“Tiada seorang muslim yang ditimpa musibah lalu ia mengatakan apa yang diperintahkan Allah (yaitu): ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, wahai Allah, berilah aku pahala pada (musibah) yang menimpaku dan berilah ganti bagiku yang lebih baik darinya’; kecuali Allah memberikan kepadanya yang lebih baik darinya.” (HR. Muslim no. 918)
Ummu Salamah berkata: “Tatkala Abu Salamah meninggal, aku mengucapkan istirja’ dan mengatakan: ‘Ya Allah, berilah saya pahala pada musibah yang menimpa saya dan berilah ganti bagi saya yang lebih baik darinya.’
Kemudian aku berpikir kiranya siapa orang yang lebih baik bagiku daripada Abu Salamah? Maka tatkala telah selesai masa ‘iddah-ku, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (datang) meminta izin untuk masuk (rumahku) di mana waktu itu aku sedang menyamak kulit… Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melamarku.
Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah selesai dari pembicaraannya, aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, sebenarnya saya mau dilamar tapi saya seorang wanita yang sangat pencemburu. Saya khawatir, anda akan melihat dari saya sesuatu yang nantinya Allah akan mengazab saya karenanya. Saya juga orang yang sudah berumur dan banyak anak.’
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Adapun apa yang engkau sebutkan tentang sifat cemburu, niscaya Allah akan menghilangkannya. Dan apa yang engkau sebutkan tentang umur maka aku juga sama (sudah berumur). Dan yang engkau sebutkan tentang banyaknya anak, maka anakmu adalah tanggunganku.’
Aku berkata: ‘Aku menyerahkan diriku kepada Rasulullah.’ Lalu beliau menikahiku.
Ummu Salamah berkata setelah itu: “Allah telah menggantikan untukku yang lebih baik dari Abu Salamah, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Ahmad)
Ini merupakan bukti dari firman Allah:

وَبَشِّرِ الصَّابِرِيْنَ

“Dan berilah berita gembira bagi orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 155)
Yaitu adakalanya seseorang diberi ganti oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan yang lebih baik. Seperti yang dialami Ummu Salamah ketika suaminya meninggal. Ketika Ummu Salamah mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengucapkan apa yang beliau perintahkan dengan penuh ketaatan, Allah Subhanahu wa Ta’ala ganti dengan yang lebih baik darinya, yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sesungguhnya kebaikan adalah apa yang dikatakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya sedangkan kesesatan serta kecelakaan ada pada penyelisihan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Tatkala Ummu Salamah tahu bahwa segala kebaikan yang ada di alam ini -baik umum atau khusus- datangnya dari sisi Allah, dan bahwa segala kejelekan yang ada di alam ini yang khusus menimpa hamba dikarenakan menyelisihi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, maka ketika Ummu Salamah mengucapkan kalimat tersebut ia mendapatkan kemuliaan mendampingi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dunia dan akhirat. Terkadang pula dengan kalimat istirja’ tadi seorang hamba mendapatkan kedudukan yang tinggi dan pahala yang besar.
Kalimat ini (إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ) mengandung obat/penghibur dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya bagi orang yang ditimpa musibah. Kalimat ini adalah sesuatu yang paling tepat dalam menghadapi musibah dan lebih bermanfaat bagi hamba untuk di dunia ini dan akhirat kelak. Karena di dalamnya terkandung pengakuan yang tulus bahwa hamba ini, jiwanya, keluarganya, hartanya dan anaknya adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah jadikan itu semua sebagai titipan yang ada pada hamba. Jika Allah mengambilnya maka itu seperti seseorang yang mengambil barang yang dipinjam oleh peminjam.
Kalimat ini juga mengandung pengukuhan bahwa kembalinya hamba hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seseorang pasti akan meninggalkan dunia ini di belakang punggungnya. Ia akan menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat sendirian, sebagaimana awal mulanya. Tiada keluarga dan harta yang bersamanya. Ia akan datang nanti dengan membawa amal kebaikan dan amal kejelekan.

Penghibur Kesedihan
 Sebagian orang menyangka bahwa orang yang ditimpa penyakit atau semisalnya adalah orang yang dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala, padahal tidak seperti itu kenyataannya. Karena terkadang seorang diuji dengan penyakit dan musibah padahal ia seorang yang mulia disisi-Nya seperti para nabi, rasul, dan orang shalih. Sebagaimana yang dialami Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika masih di Makkah, saat perang Uhud dan Ahzab serta ketika wafatnya. Musibah juga menimpa Nabi Ayyub, Nabi Yunus, dan nabi yang lainnya ‘alaihimussalam. Itu semua untuk mengangkat kedudukan mereka dan dibesarkannya pahala serta sebagai contoh (kesabaran) bagi orang yang datang setelah mereka.
Terkadang seorang diuji dengan kesenangan -seperti harta yang banyak, istri, anak-anak, dan lainnya- namun tidak sepantasnya untuk dikatakan sebagai orang yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala jika ia tidak melakukan ketaatan kepada-Nya. Orang yang mendapatkan itu semua bisa jadi memang orang yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan bisa jadi orang yang dimurkai-Nya.
Keadaannya berbeda-beda, sedangkan kecintaan di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala bukanlah karena kedudukan, anak, harta dan jabatan. Kecintaan di sisi-Nya diraih dengan amal shalih, takwa dan kembali kepada Allah serta melaksanakan hak-hak-Nya. (lihat Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Baz, 7/150-151)
Seorang mukmin hendaklah yakin bahwa apa yang ditakdirkan Allah Subhanahu wa Ta’ala niscaya akan menimpanya, tidak meleset sedikit pun. Sedangkan apa yang tidak ditakdirkan oleh-Nya pasti tidak akan menimpanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيْبَةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَ فِي أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيْرٌ. لِكَيْ لاَ تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلاَ تَفْرَحُوا بِمَا ءَاتَاكُمْ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍ

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Al-Hadid: 22-23)

 Seseorang yang ditimpa musibah hendaklah melihat apa yang ada dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Niscaya ia akan mendapatkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan sesuatu yang lebih besar dari lenyapnya musibah, bagi orang yang sabar dan ridha. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُوْنَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Az-Zumar: 10)

 Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا يَزَالُ الْبَلاَءُ بِالْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ فِي جَسَدِهِ وَمَالِهِ وَوَلَدِهِ حَتَّى يَلْقَى اللهَ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيْئَةٌ

“Senantiasa bala` (cobaan) menimpa seorang mukmin dan mukminah pada tubuhnya, harta dan anaknya, sehingga ia berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak memiliki dosa.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, dan lainnya, dan dinyatakan hasan shahih oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, 2/565 no. 2399)

 Seorang yang ditimpa musibah hendaklah tahu bahwa di setiap sudut kampung dan kota bahkan setiap rumah, ada orang yang tertimpa musibah. Di antara mereka ada yang terkena musibah sekali dan ada pula yang berkali-kali. Hal itu tidak terputus sampai seluruh anggota keluarga terkena semua. Dengan demikian ia akan merasakan ringannya musibah karena bukan hanya dia yang terkena cobaan.
Jika melihat ke kanan, ia tidak melihat kecuali orang yang terkena musibah. Dan jika melihat ke kiri, ia tidak melihat kecuali orang yang sedih. Bila orang yang terkena musibah tahu bahwa jika dia memerhatikan alam ini tidaklah ia melihat kecuali di tengah-tengah mereka ada yang terkena musibah, baik dengan lenyapnya sesuatu yang dicintai atau tertimpa dengan sesuatu yang tidak mengenakkan. Maka dia akan tahu bahwa kebahagiaan dunia hanyalah seperti mimpi dalam tidur atau bayangan yang lenyap. Jika kesenangan dunia membuat tertawa sedikit, ia akan menjadikan tangis yang banyak. Dan tidaklah suatu rumah dipenuhi keceriaan kecuali suatu saat akan dipenuhi ratap tangis. Muhammad bin Sirin berkata: “Tiada suatu tawa kecuali setelahnya akan datang tangis.”

 Seorang hamba melihat dengan mata hatinya sehingga ia tahu bahwa pahitnya kehidupan dunia itu adalah suatu hal yang manis di akhirat dan manisnya dunia merupakan perkara yang pahit di negeri akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala lah yang membaliknya. Lihatlah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يُؤْتَى بِأَنْعَمِ أَهْلِ الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فيُصْبَغُ فِي النَّارِ صَبْغَةً ثُمَّ يُقَالُ: يَا ابْنَ آدَمَ، هَلْ رَأَيْتَ خَيْرًا قَطُّ؟ هَلْ مَرَّ بِكَ نَعِيْمٌ قَطُّ؟ فَيَقُوْلُ: لاَ، وَاللهِ يَا رَبِّ. وَيُؤْتَى بِأَشَدِّ النَّاسِ بُؤْسًا فِي الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيُصْبَغُ صَبْغَةً فِي الْجَنَّةِ فَيُقَالُ لَهُ: يَا ابْنَ آدَمَ، هَلْ رَأَيْتَ بُؤْسًا قَطُّ؟ هَلْ مَرَّ بِكَ شِدَّةٌ قَطُّ؟ فَيَقُوْلُ: لاَ، وَاللهِ يَا رَبِّ، مَا مَرَّ بِي بُؤْسٌ وَلاَ رَأَيْتُ شِدَّةً قَطُّ

Di hari kiamat nanti akan didatangkan seorang penduduk dunia yang paling mendapatkan nikmat dari penghuni neraka, lalu ia dicelupkan ke dalam neraka sekali celupan, kemudian ditanya: “Wahai anak keturunan Adam, apakah kamu pernah melihat kebaikan? Apakah kamu pernah mendapatkan kenikmatan?” Ia menjawab: “Tidak, demi Allah, wahai Rabbku.” Dan akan didatangkan seorang yang paling menderita di dunia dari penduduk surga lalu ia dicelupkan ke dalam surga sekali celupan, kemudian ditanya: “Wahai anak keturunan Adam, pernahkah kamu melihat penderitaan? Pernahkah kamu merasakan kesengsaraan?” Ia menjawab: “Tidak demi Allah, wahai Rabbku. Tidak pernah aku mengalami penderitaan dan tidak pernah melihat kesengsaraan.” (HR. Muslim no. 2807)

 Orang yang ditimpa musibah hendaklah meminta pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bertawakal kepada-Nya. Hendaklah ia tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama orang-orang yang sabar.

 Hendaklah orang yang ditimpa musibah memantapkan dirinya sehingga tahu bahwa musibah yang datang kepadanya itu datang dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, sesuai dengan keputusan dan takdir-Nya. Hendaknya dia menyadari pula bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah menakdirkan musibah kepadanya untuk membinasakan dan menyiksanya, tetapi Ia mengujinya untuk diuji kesabaran dan keridhaannya serta pengaduannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

 Hendaklah diketahui bahwa musibah yang paling besar adalah musibah yang menimpa agama seorang. Seperti seseorang yang dahulu rajin ibadah, namun kini bermalas-malasan, atau orang yang dulunya taat kini meninggalkannya dan suka dengan kemaksiatan. Inilah musibah yang tidak ada keberuntungannya sama sekali.

 Al-Imam Ibnul Jauzi menyebutkan beberapa perkara untuk mengobati musibah sehingga seorang tidak berlarut-larut dalam kesedihan yang bisa membinasakan dan mengabaikan hak dan kewajiban, yaitu:
- Mengetahui bahwa dunia tempat ujian dan petaka serta bahwa musibah suatu hal yang pasti terjadi.
- Memperkirakan adanya orang yang ditimpa musibah lebih besar dan banyak dari musibahnya, serta melihat keadaan orang yang ditimpa musibah seperti musibahnya sehingga ia terhibur karena bukan hanya dia saja yang terkena musibah.
- Meminta ganti yang lebih baik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengharap pahala dari kesabarannya.
(Diambil dari kitab Tasliyatu Ahlil Masha`ib karya Al-Imam Muhammad Al-Munbajja Al-Hanbali -dengan ringkas- hal. 13-22)

Faedah di Balik Musibah
Allah Maha Bijaksana, tiada keputusan dan ketentuan-Nya yang lepas dari hikmah. Tidak terkecuali dengan perkara musibah ini. Kalaulah seandainya tidak ada faedah dari musibah ini kecuali sebagai penghapus dosa di mana itu saja sudah mencukupi, bagaimana kiranya jika di sana ada setumpuk faedah? Subhanallah!
Shahabat Ibnu Mas’ud berkata: “Aku masuk kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau sedang demam, aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau sangat demam.’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Benar, sesungguhnya aku merasakan demam seperti demamnya dua orang di antara kalian.’ Aku berkata: ‘Yang demikian karena engkau mendapat pahala dua kali lipat.’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Benar, memang seperti itu. Tiada seorang muslim pun yang ditimpa sesuatu yang mengganggu, sakit atau selainnya kecuali Allah akan mengampuni dosanya seperti pohon yang merontokkan daunnya’.” (HR. Muslim no. 2571, Kitabul Birri wash Shilah)
Berikut ini beberapa faedah dari musibah:
1. Musibah yang menimpa menunjukkan kepada manusia akan kekuasaan Allah dan lemahnya hamba.
2. Musibah menjadikan hamba menuluskan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena tiada tempat untuk mengadukan petaka kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tiada tempat bersandar agar tersingkapnya petaka kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ

“Maka apabila mereka naik kapal mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (Al-’Ankabut: 65)
3. Musibah menjadikan seorang kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bersimpuh di hadapan-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِذَا مَسَّ اْلإِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَا رَبَّهُ مُنِيْبًا إِلَيْهِ

“Dan apabila manusia itu ditimpa kemudaratan, dia memohon (pertolongan) kepada Rabbnya dengan kembali kepada-Nya.“ (Az-Zumar: 8)
4. Musibah menjadikan seorang mempunyai sifat penyantun dan pemaaf terhadap orang yang melakukan kesalahan kepadanya.
5. Musibah menyebabkan seorang bersabar atasnya. Dan sabar menyebabkan datangnya kecintaan Allah Subhanahu wa Ta’ala serta pahala-Nya yang banyak. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَاللهُ يُحِبُّ الصَّابِرِيْنَ

“Dan Allah cinta orang-arang yang sabar.” (Al-’Imran: 146)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ

“Tidaklah seorang diberi pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR. Al-Bukhari no. 781)
6. Bergembira dengan musibah karena besarnya faedah dari musibah ini. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَإِنْ كَانَ أَحَدُهُمْ لَيَفْرَحُ بِالْبَلاَءِ كَمَا يَفْرَحُ أَحَدُكُمْ بِالرَّخَاءِ

“Dan sungguh salah seorang dari mereka (yakni orang-orang yang shalih) merasakan senang terhadap bala` (musibah) seperti salah seorang kalian suka terhadap kemakmuran.” (Shahih Sunan Ibnu Majah, 3/318, no. 3266)
7. Musibah akan membersihkan dosa dan kesalahan.
8. Musibah akan menumbuhkan sifat belas kasihan pada diri seseorang terhadap yang ditimpa musibah dan membantu untuk meringankan beban mereka.
9. Mengetahui besarnya nikmat sehat serta mensyukurinya, karena nikmat tidaklah diketahui kadar besarnya kecuali setelah tidak adanya.
10. Di balik dari musibah ada faedah-faedah yang tersembunyi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا

“Mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)
Tatkala raja yang bengis hendak merampas Sarah (istri Nabi Ibrahim ‘alaihissalam) dari Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, ternyata di balik musibah itu sang raja akhirnya memberikan seorang pembantu yang bernama Hajar kepada Sarah. Dari Hajar (istri Ibrahim ‘alaihissalam), lahirlah Isma’il, dan di antara keturunan Isma’il adalah penutup para nabi dan rasul yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
11. Musibah dan penderitaan akan menghalangi sifat sombong, angkuh, dan kebengisan. Kalaulah raja Namrud yang kafir itu seorang yang fakir, sakit-sakitan, tuli dan buta, tentulah ia tidak akan membantah Nabi Ibrahim tentang Rabbnya. Namun keangkuhan kekuasaan itulah yang menyebabkan Namrud menentang Ibrahim. Dan seandainya Fir’aun itu fakir dan sakit-sakitan tentu ia tidak akan mengatakan: ‘Sayalah Rabb kalian yang paling tinggi.’
Allah berfirman:

إِنَّ اْلإِنْسَانَ لَيَطْغَى. أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى

“Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.” (Al-’Alaq: 6-7)
Dan firman-Nya:

وَمَا أَرْسَلْنَا فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيْرٍ إِلاَّ قَالَ مُتْرَفُوْهَا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُوْنَ

“Dan kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatan pun melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: ‘Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya’.” (As-Saba: 34)
Sedangkan orang-orang fakir dan lemah mereka banyak yang menjadi wali-wali Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pengikut para Nabi. Karena faedah-faedah yang mulia ini, maka orang yang paling besar cobaannya adalah para nabi, kemudian yang semisal mereka, kemudian yang semisalnya. Mereka dituduh sebagai orang-orang gila, tukang sihir, dan sekian ejekan lainnya. Namun mereka bersabar atas pendustaan dan gangguan orang-orang kafir tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِيْنَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيْرًا

“Kalian sungguh-sungguh akan diuji terhadap harta dan diri kalian, dan juga kalian sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kalian dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak.” (Ali ‘Imran: 186) [Dinukil dari Tafsir Al-Qasimi -dengan ringkas- 1/405-409]

Kewajiban Bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Merendahkan Diri di Hadapan-Nya ketika Datang Musibah
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hikmah-Nya yang mendalam menguji hamba-Nya dengan kesenangan dan penderitaan untuk menguji kesabaran dan syukur mereka. Barangsiapa bersabar ketika mendapat musibah dan bersyukur ketika mendapat nikmat serta bersimpuh di hadapan-Nya saat mendapat cobaan, dengan mengadu kepada-Nya akan dosa dan kekurangannya serta memohon rahmat dan ampunan-Nya, sungguh ia telah beruntung dan meraih kesudahan yang baik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَبَلَوْنَاهُمْ بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

“Dan Kami uji mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang jelek-jelek agar mereka kembali (kepada kebenaran).” (Al-A’raf: 168)
Dan firman-Nya:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Ar-Ruum: 41)
Yang dimaksud dengan kebaikan di sini adalah nikmat seperti kesuburan, kemakmuran, kesehatan, dimenangkan atas musuh dan semisalnya. Sedangkan yang dimaksud dengan kejelekan adalah musibah seperti penyakit, dikuasai oleh musuh, gempa, angin topan, banjir yang menghancurkan dan semisalnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala uji dengan itu semua agar manusia kembali ke jalan yang benar, segera bertaubat dari dosa dan bergegas menuju ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Karena kekufuran dan maksiat adalah sumber segala bencana di dunia dan di akhirat. Adapun beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, menaati Rasul-Nya dan berpegang teguh dengan syariat-Nya adalah sumber kemuliaan dunia dan akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk bertaubat kepada-Nya di saat turunnya musibah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا إِلَى أُمَمٍ مِنْ قَبْلِكَ فَأَخَذْنَاهُمْ بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُوْنَ. فَلَوْلاَ إِذْ جَاءَهُمْ بَأْسُنَا تَضَرَّعُوا وَلَكِنْ قَسَتْ قُلُوْبُهُمْ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ مَا كَانُوا يَعْمَلُوْنَ
 
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan supaya mereka bermohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri. Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras dan setan pun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan.” (Al-An’am: 42-43)

Telah shahih riwayat dari Amirul Mukminin Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullahu bahwa beliau menulis surat kepada para gubernurnya ketika terjadi gempa di zamannya. Beliau menyuruh mereka untuk memerintahkan kaum muslimin supaya bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, merendahkan diri di hadapan-Nya, dan beristighfar dari dosa-dosa. (lihat Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Baz, 2/126-129)
Wallahu a’lam bish-shawab.

Imam Syafi'i

Inilah goresan pena dari sang ikhwan (ana) yang mendambakan akhwat sholehah, yang bisa bersama untuk mencintai Mu Ya Robbi dan mencintai Muhammad Shalallahu’alaihi wassalam.
Yaa……Rabbi……..


Aku berdoa untuk seorang akhwat yang akan menjadi bagian dari hidupku
Seseorang yang sangat mencintaiMu lebih dari segala sesuatu
Seorang yang akan meletakkanku pada posisi di hatinya setelah Engkau dan Muhammad shallahu’alaihi wassalam

Seseorang yang hidup bukan untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk-Mu dan orang lain
Wajah, fisik, status atau harta tidaklah penting
Yang terpenting adalah hati yang sungguh mencintai dan dekat dengan Engkau
Dan berusaha menjadikan sifat-sifat baikMu ada pada pribadinya
Dan ia haruslah mengetahui bagi siapa dan untuk apa ia hidup
Sehingga hidupnya tidak sia-sia

Seseorang yang memiliki hati yang bijak, tidak hanya otak yang cerdas
Seseorang yang tidak hanya mencintaiku, tapi juga menghormatiku
Seorang yang tidak hanya memujaku, tetapi juga dapat menasehatiku
Seseorang yang mencintaiku bukan karena fisikku, hartaku atau statusku tapi karena Engkau

Seorang yang dapat menjadi sahabat terbaikku dalam setiap waktu dan situasi
Seseorang yang membuatku merasa sebagai lelaki shalehah ketika aku berada di sisinya
Seseorang yang bisa menjadi asisten sang nahkoda kapal
Seseorang yang bisa menjadi penuntun kenakalan balita yang nakal
Seseorang yang bisa menjadi penawar bisa
Seseorang yang sabar mengingatkan saat diriku lancang

Ya..Rabbi……
Aku tak meminta seseorang yang sempurna
Hingga aku dapat membuatnya sempurna di mataMu
Seseorang yang membutuhkan dukunganku sebagai peneguhnya
Seorang yang membutuhkan doaku untuk kehidupannya
Seseorang yang membutuhkan senyumku untuk mengatasi kesedihannya
Seseorang yang membutuhkan diriku untuk membuat hidupnya lebih hidup

Aku tidak mengharap dia semulia Fatimah Radhiyallahuanha, tidak setaqwa Aisyah Radhiyallahuanha ,Pun tidak secantik Zainab Radhiyallahuanha, apalagi sekaya Khodijah Radhiyallahuanha.
Aku hanya mengharap seorang akhwat akhir zaman,
Yang punya cita-cita mengikuti jejak mereka,
Membangun keturunan yang sholeh,
Membangun peradaban,
dan membuat Rasulullah shallahu’alaihiwasalam bangga di akhirat
Karena aku sadar aku bukanlah
orang yang semulia abu baker Radhiyallahu,
Atau setaqwa umar Radhiyallahu, pun setabah Ustman Radhiyallahu,
Ataupun sekaya Abdurrahman bin auf Radhiyallahu, setegar zaid Radhiyallahu
Juga segagah Ali Radhiyallahu, apalagi setampan usamah Radhiyallahu.
Aku hanyalah seorang lelaki akhir zaman
yang punya cita – cinta

Ya…..Rabbii …….
Aku juga meminta, Jadikanlah ia sandaran bagiku
Buatlah aku menjadi ikhwan yang dapat membuatnya bangga
Berikan aku hati yang sungguh mencintaiMu sehingga aku dapat mencintainya dengan sepenuh jiwaku

Berikanlah sifat yang lembut, sehingga auraku datang dariMu
Berikanlah aku tangan sehingga aku mampu berdoa untuknya
Berikanlah aku penglihatan sehingga aku dapat melihat banyak kebaikan dalam dirinya
Berikanlah aku lisan yang penuh dengan kata-kata bijaksana,
Mampu memberikan semangat serta mendukungnya setiap saat

kokohnya benteng tidak bisa dibangun dalam semalam, namun bisa hancur dalam sedetik
Kota Baghdad tak dibangun dalam sehari, namun bisa hancur dalam sekejap
Perkawinan tak dirajut dalam pertimbangan sesaat,
namun bisa saja terberai dalam sesaat
Pernikahan, bukanlah akhir dari sebuah perjalanan.

Tapi awal sebuah langkah

Karenanya, jadikanlah kelak pernikahan kami sebagai titian
Untuk belajar kesabaran & ridho-Mu, ya Rabbi
Dan bilamana akhirnya kami berdua bertemu, aku berharap kami berdua dapat mengatakan:

” Betapa Maha Besarnya Engkau karena telah memberikan kepadaku pasangan yang
dapat membuat hidupku menjadi sempurna”.
Aku mengetahui bahwa Engkau ingin kami bertemu pada waktu yang tepat
Dan Engkau akan membuat segalanya indah pada waktu yang telah Engkau tentukan….

Astaghfirullah, Wallahu’alam bisshowab

Dari ikhwan yang membutuhkan ampunan Allah azzawajalla, dan mengharapkan doaku 
dikabulkanNYA untuk mendapatkan istri yang sholehah.

Imam Syafi'i Rabu, 04 Januari 2012

Alloh Ta’âlâ menciptakan makhluk dan menjadikan mereka memiliki tabiat untuk melakukan kesalahan dan kemaksiatan, agar hamba-hamba Alloh mengetahui bahwa kesempurnaan itu hanyalah milik Alloh semata. Dia tidak butuh kepada makhluk-Nya, sedangkan makhuk itu bersifat lemah dan selalu bergantung pada tuhannya. Mereka sangat butuh kepada-Nya di dalam setiap setiap gerakan maupun diamnya.
Tidaklah mungkin orang yang berakal itu mendakwakan adanya ishmah (keterpeliharaan dari dosa) dan keterbebasan (dari kesalahan), karena ini merupakan hal yang mustahil secara akal maupun syar’i. Karena itulah Alloh menjadikan taubat itu sebagai obat kemaksiatan. Barangsiapa yang bertaubat, maka Alloh akan menerima taubatnya, dan ini merupakan suatu hal yang telah disepakati oleh umat Islam semenjak zaman kenabian dahulu sampai hari ini.


Hanya saja, ada sebagian orang yang pada hari ini, yang menyandarkan diri mereka kepada ilmu -padahal mereka adalah orang yang jauh dari sebutan ini- meragukan orang yang secara terang-terangan rujuk dari kesalahannya, lantaran dia menyelisihi pendapat mereka, atau mengingkari sikap melampaui batas yang ada pada mereka dan kegemaran mereka memakan daging para ulama. Sampai-sampai sebagian mereka menyatakan bahwa Fulan itu sebenarnya tidak rujuk/taubat, karena apa yang disembunyikannya berlainan dengan yang ditampakkannya. Wahai, Maha Suci Alloh yang mengetahui hal yang ghaib, mereka masuk ke dalam urusan hati hamba, sampai-sampai menyatakan suatu perkara yang ghaib. Ini adalah suatu kebodohan yang nyata!
Inilah Nabi kita Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam yang bersabda :

إني لم أومر أن أنقب عن قلوب الناس ولا أن أشق بطونهم

“Sesungguhnya aku tidak diperintahan untuk menyelidiki tentang hati manusia dan tidak pula menyibak batin mereka.”
            Beliau juga berkata kepada Usâmah yang membunuh seorang lelaki (ketika perang) setelah lelaki itu mengucapkan syahadat Lâ Ilâha illallôh :

كيف قتلته بعد أن قال لا إله إلا الله
“Bagaimana kamu bisa membunuhnya setelah dia mengucapkan Lâ Ilâha illallôh?”
Usâmah menjawab : “Sesungguhnya dia hanya ingin melindungi diri (supaya tidak dibunuh).”
Lantas Nabi menjawab :
فهلا شققت عن قلبه
“Apakah kamu telah membelah dadanya?”
Demikian pula di dalam hadits Miqdâd yang semisal, di dalam kisahnya turun firman Alloh Ta’âlâ :

وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَىٰ إِلَيْكُمُ السَّلَامَ لَسْتَ مُؤْمِنًا تَبْتَغُونَ عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

Dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan salam kepadamu: “Kamu bukan seorang mu’min”, dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia.” (QS an-Nisâ : 94)
‘Umar bin al-Khaththâb berkata :

من أظهر لنا خيراً أجبناه وواليناه عليه ، وإن كانت سريرته بخلاف ذلك ، ومن أظهر لنا شراً أبغضناه عليه وإن زعم أن سريرته صالحة
“Barangsiapa yang menampakkan kebaikan di hadapan kita, maka akan kita sambut dan kita berikan dia loyalitas, walaupun batinnya menyatakan lain. Dan barangsiapa yang menampakkan keburukan di hadapan kita, maka kita akan membencinya walaupun dia mengira bahwa batinnya baik.”

  Betapa banyak orang yang menyia-nyiakan waktunya di dalam mengkritik Fulan dan menyebut kesalahan-kesalahannya, bahkan sampai mencari-cari dan memburu kesalahan-kesalahan terbarunya, kemudian menyebarkannya kepada masyarakat, tanpa memilah antara orang yang berilmu dengan yang jahil. Akibatnya mereka merusak hubungan diantara sesama dan menyebarkan adu domba, kemudian orang-orang jahil pun menambah-nambahi kedustaan, dengan maksud menjatuhkan (kredibilitas) seorang yang berilmu lagi pemberi nasehat ini.

Mereka menyandarkan metoda mereka yang buruk ini kepada kaum yang berafiliasi kepada ilmu, namun hal ini tidak menghalangi mereka dari penyakit hasad, yang didorong dengan alasan untuk memisahkan masyarakat dari para pengaku-ngaku. Ini adalah suatu keburukan. Orang-orang semisal mereka ini, tidaklah memiliki teladan yang baik dan tidak pula argumentasi yang kuat, karena motivasi mereka yang jelek, yaitu hasad dan berlomba-lomba untuk mencari ridha orang lain.

Sekalipun kita menerima keilmuan pada mereka, namun penyelewengan yang ada pada mereka menyebabkan kita dapat memastikan secara yakin akan haramnya mengikuti mereka di dalam kebid’ahan ini.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbâs bahwa beliau berkata :


خذوا العلم حيث وجدتموه ولا تقبلوا قول الفقهاء بعضهم على بعض فإنهم يتغايرون كما تتغاير التيوس في الزريبة

“Ambillah ilmu darimana saja kalian dapati, dan janganlah kalian menerima ucapan ulama fikih (yang saling mencela) diantara sesama mereka, karena sesungguhnya mereka itu berpindah-pindah sebagaimana kambing yang berpindah-pindah di kandanganya.”

Mereka adalah kaum yang dikenal dengan hasratnya suka mencela, suka berburuk sangka, sering membawa suatu ucapan kepada pemahaman yang buruk, gemar menanti dan mengintai (kesalahan orang lain), merasa senang dengan kesalahan orang lain, dan gemar melakukan ghibah dan adu domba. Hanya saja penampakan mereka seperti orang yang shalih, namun pada saat mereka berkumpul, berkhutbah atau menulis, mereka akan menampakkan hakikat mereka sebagai orang rendahan. Lantas, apakah layak orang seperti mereka ini dianggap sebagai orang-orang yang melakukan perbaikan?!

[Sumber : Situs Resmi Syaikh al-Baidhânî]

Imam Syafi'i

Palingkan kesungguhanmu dari wanita dan arahkan
Tuk leher jenjang bidadari nan cantik jelita disana
Disurga yang sangat menyenangkan kenikmatannya
Segala jenis buah-buahan yang berpasang-pasangan disana

Bagi orang-orang yang bertakwa saja gadis remaja
Mereka bagaikan lu’lu’ dan marjan
Putih wajahnya dan hitam legam rambutnya
Merah ranum pipinya dan lentik kelopak matanya

Jika engkau rindu dan ingin bertemu dengannya
Seperti kerinduan perantau pada kampung halamannya
Maka berbuatlah baik sekuat tenagamu
Betapa banyaknya berbuat kebaikan itu
akan dibalas dengan kebaikan pula



Subhanalloh,,,
apakah manusia pantas bersedih hanya karna dunia yang tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan akhirat yang Allah janjikan?
beberapa orang tergoda (baca: pacaran, berzina, dll), padahal yang diperlukan hanyalah bersabar sebentar saja, ya sebentar saja, seberapa lama sih akhir dunia ini?

Dan aku berkata (lagi) ,,,
Kalau memang jodoh, takkan kemana
Semua sudah ditentukan. Tinggal kita yang memilih,
Mau “menjemputnya” dengan “cara” yang benar
Atau “menjemputnya” dengan “cara” yang keliru ?

Hhhh…
Wanita,
Dunia, oh dunia,,,
Apakah aku harus bersedih hanya karenamu???
Betapa sempitnya luasmu, betapa pendeknya panjangmu, dan betapa semunya keindahan

Imam Syafi'i

Bismillah.......

Ijinkanlah saya berbagi dalam goresan tulisan ini…jika menurut teman-teman, baik…maka ambillah…dan jika menurut teman-teman, buruk…maka tinggalkanlah….

saudariku…muslimah…
wanita muslimah…laksana bunga….yang menawan…wanita muslimah yang sholehah….bagaikan sebuah perhiasan yang tiada ternilai harganya….Begitu indah…begitu berkilau…begitu menentramkan…

teramat banyak yang ingin meraih bunga tersebut…Namun tentunya….tak sembarang orang berhak meraihnya….menghirup sarinya….
”Wahai Robb kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqoon:74)
hanya yang dia yang benar-benar terpilihlah…yang dapat memetiknya…yang dapat meraih pesonanya…dengan harga mahal yang teramat suci…sebuah ikatan amat indah…bernama pernikahan…karena itu…sebelum saatmu tiba….sebelum orang terpilih itu datang dan menggandengmu dalam istananya…janganlah engkau biarkan dirimu layu sebelum masanya…jangan kau biarkan serigala liar menjadikanmu bahan permainan dalam keisengannya…jangan kau biarkan kumbang berebutan menghisap madumu…jangan kau biarkan mereka mengintipmu diam-diam…dan menikmati pesonamu dalam kesendiriannya….Jangan kau biarkan ia permainkan hatimu yang rapuh….atas nama taaruf…atas nama cinta…
Ya…atas nama cinta…
Jangan kau biarkan ia permainkan hatimu yang rapuh….atas nama taaruf…atas nama cinta

Kau tau saudariku…??Jika seseorang jatuh cinta….maka cinta akan membungkus seluruh aliran darahnya…membekuknya dalam jari-jarinya…dan menutup semua mata…hati dan pikirannya….Membuat seseorang lupa akan prinsipnya….Membuat seseorang lupa akan besarnya fitnah ikhwan-akhwat…Membuat seseorang lupa akan apa yang benar dan apa yang seharusnya ia hindarkan…Membuat seseorang itu lupa akan apa yang telah ia pelajari sebelumnya tentang batasan-batasan pergaulan ikhwan akhwat…Membuat seseorang menyerahkan apapun…supaya orang yang ia cintai…”bahagia” atau ridho terhadap apa yang ia lakukan…

Membuat orang tersebut lupa…bahwa….cinta mereka belum tentu akan bersatu dalam pernikahan….

Ya saudariku….ukhty fillah…

Jangan sampai cinta menjerumuskanmu dalam lubang yang telah engkau tutup rapat sebelumnya…

Karena itu…jika engkau mulai menyadari adanya benih-benih cinta mulai tertanam lembut dalam hatimu yang rapuh…segeralah…buat sebuah benteng yang tebal…yang kokoh…Tanam rumput beracun disekelilingnya…Pasang semak berduri di muara-muaranya
Cinta sejati hanyalah pada Rabbul Izzati. Cinta yang takkan bertepuk sebelah tangan. Namun Allah tidak egois mendominasi cinta hamba-Nya. Dia berikan kita cinta kepada anak, istri, suami, orang tua, kaum muslimin…
Cinta begitu dasyat pengaruhnya…jika engkau tau….Karena itu…jika engkau mulai menyadari adanya benih-benih cinta mulai tertanam lembut dalam hatimu yang rapuh…segeralah…buat sebuah benteng yang tebal…yang kokoh…Tanam rumput beracun disekelilingnya…Pasang semak berduri di muara-muaranya….

Berlarilah menjauhinya…menjauhi orang yang kau cintai….Buat jarak yang demikian lebar padanya….

jangan kau berikan ia kesempatan untuk menjajaki hatimu…

Biarlah air mata mengalir untuk saat ini…Karena kelak yang akan kalian temui adalah kebahagiaan…biarlah sakit ini untuk sementara waktu…biarlah luka ini mengering dengan berjalannya kehidupan…

Karena…cinta tidak lain akan membuat kalian sendiri yang menderita…Kalian sendiri…

Saudariku…. tentunya sudah mengerti dan paham…bagaimana rasanya jika sedang jatuh cinta…jika dia jauh..kita merasa sakit karena rindu…jika ia dekat…kita merasa sakit…karena takut kehilangan….

padahal…ia belum halal untukmu…dan mungkin tidak akan pernah menjadi yang halal…

karena itu…jauhilah ia…jangan kau biarkan dia menanamkan benih-benih cinta di hatimu….dan kemudian mengusik hatimu…jangan kau biarkan dia mempermainkanmu dalam kisah yang bernama cinta…

maka…bayangkanlah keadaan ini…tentang suamimu kelak…

Hadis riwayat Abu Musa ra., ia berkata:Rasulullah . bersabda: Tidak seorang pun yang lebih sabar mendengar sesuatu yang menyakitkan selain Allah, karena meskipun Allah disekutukan dan dianggap memiliki anak, tetapi Allah tetap memberikan kesehatan dan rezeki kepada mereka. (Shahih Muslim No.5016)
sahabatku…sukakah engkau..??apabila saat ini ternyata suamimu (kelak) sedang memikirkan wanita yang itu bukan engkau..???

sukakah engkau..??bila ternyata suamimu (kelak) saat ini tengah mengobrol akrab…tertawa riang…becanda…saling menatap…saling menggoda…saling mencubit…saling memandang dengan sangat…saling menyentuh…???dan bahkan lebih dari itu…??

sukakah engkau saudariku…??
sukakah engkau bila ternyata saat ini suamimu (kelak) sedang jalan bersama gadis lain yang itu bukan engkau…??sukakah engkau…??bila saat ini suamimu (kelak) tengah berpikir dan merencanakan pertemuan berikutnya…??tengah disibukkan oleh rencana-rencana…apa saja yang akan ia lakukan bersama gadis itu…??

tidak cemburukah engkau temanku..??bila saat ini suamimu (kelak) sedang makan bareng bersama gadis lain…atau bahkan segerombolan gadis lain..?suamimu (kelak) saat ini sedang digoda oleh gadis-gadis..suamimu (kelak) sedang ditelepon dengan mesra…suamimu (kelak) saat ini sedang dicurhatin gadis-gadis… yang berkata…”aku tak bisa jika sehari tak mengobrol dengamu…”

tidak cemburukah…?? tidak cemburukah…?? tidak cemburukaaaaahhhhhhhh……???

tidak terasa bagaimanakah..jika suamimu (kelak) saat ini tengah beradu pandangan…bercengkrama..bercerita tentang masa depannya…dengan gadis lain yang bukan engkau…???

sukakah engkau kiranya suamimu (kelak) saat ini tidak bisa tidur karena memikirkan gadis tersebut…??menangis untuk gadis tersebut…??dan berkata dengan hati hancur…”aku sangat mencintamu…aku sangat mencintaimu…???”tidak patah hatikah engkau…???sukakakah engkau bila suamimu (kelak ) berkata pada gadis lain..”tidak ada orang yang lebih aku cintai selain engkau…??”menyebut gadis tersebut dalam doanya…memohon pada Allah supaya gadis tersebut menjadi istrinya…

dan ternyata engkaulah yang kelak akan jadi istrinya…dan bukan gadis tersebut…???

jika engkau tidak suka akan hal itu…jika engkau merasa cemburu….maka demikian halnya dengan suamimu (kelak)…

dan…Allah jauh lebih cemburu daripada suamimu….Allah lebih cemburu…saudariku…melihat engkau sendirian…namun pikirannmu enggan berpindah dari laki-laki yang telah mengusik hatimu tersebut….

saudariku….kalian percaya takdir bukan..?
saudariku….kalian percaya takdir bukan..?

apabila dua orang telah digariskan untuk dapat hidup bersama…maka…sejauh apapun mereka…sebanyak apapun rintangan yang menghalangi…sebesar apapun beda diantara mereka…sekuat apapun usaha dua orang tersebut untuk menghindarkannya…

meski mereka tidak pernah komunikasi sebelumnya…meski mereka sama sekali tidak pernah membayangkan sebelumnya…meski mereka tidak pernah saling bertegur sapa…

PASTI tetap saja mereka akan bersatu….seakan ada magnet yang menarik mereka…akan ada hal yang datang…untuk menyatukan mereka berdua….akan ada suatu kejadian…yang membuat mereka saling mendekat…dan akhirnya bersatu…
Dari Usamah bin Zaid, Rosulullah shollallahu’alaihi wasallam bersabda: “Tidak pernah kutinggalkan sepeninggalku godaan yang lebih berbahaya bagi kaum lelaki selain daripada godaan wanita.”
namun…apabila dua orang telah ditetapkan untuk tidak berjodoh…maka…sebesar apapun usaha mereka untuk saling mendekat…sekeras apapun upaya orang disekitar mereka untuk menyatukannya…sekuat apapun perasaan yang ada diantara mereka berdua…sebanyak apapun komunikasi diantara mereka sebelumnya…sedekat apapun…

PASTI…akan ada hal yang membuat mereka akhirnya saling menjauh…ada hal yang membuat mereka saling merasa tidak cocok…ada hal yang membuat mereka saling menyadari bahwa memang bukan dia yang terbaik….ada kejadian yang menghalangi mereka untuk bersatu…

bahkan ketika mereka mungkin telah menetapkan tanggal pernikahan…

namun…yang perlu dicatat disini adalah…yakinlah…bahwa yang diberikan oleh Allah…yakinlah…bahwa yang digariskan oleh Allah…yakinlah…bahwa yang telah ditulis oleh Allah dalam KitabNya..adalah…yang terbaik untuk kita….adalah….yang paling sesuai untuk kita…adalah…yang paling membuat kita merasa bahagia,,,,

karena Dialah…yang paling mengerti kita…lebih dari kita sendiri…Dialah…yang paling menyayangi kita…Dialah…yang paling mengetahui apa-apa yang terbaik untuk kita…sementara kita hanya sedikit saja mengetahuinya…dan itupun hanya berdasarkan pada persangkaan kita…

dan….yang perlu kita catat juga adalah…
JIKA KITA TIDAK MENDAPATKAN SUATU HAL YANG KITA INGINKAN…ITU BUKAN BERARTI BAHWA KITA TIDAK PANTAS UNTUK MENDAPATKANNYA….NAMUN JUSTRU BERARTI BAHWA…KITA PANTAS…KITA PANTAS MENDAPATKAN YANG LEBIH BAIK DARI HAL TERSEBUT…KITA PANTAS MENDAPATKAN YANG LEBIH BAIK…SAUDARIKU….LEBIH BAIK….
meskipun saat ini…mata manusia kita tidak memahaminya…meskipun saat itu…perasaan kita memandangnya dengan sebelah mata…meskipun saat itu…otak kita melihatnya sebagai sesuatu yang buruk….

Tidak…jangan terburu-buru menvonis bahwa engkau telah diberikan sesuatu yang buruk….bahwa engkau tidak pantas….karena kelak…engkau akan menyadarinya…engkau akan menyadarinya perlahan…bahwa apa yang telah hilang darimu….bahwa apa yang tidak engkau dapatkan….bukanlah yang terbaik untukmu…bukanlah yang pantas untukmu…bukanlah sesuatu yang baik ,,,,untukmu….

Dari Abu Huroiroh dari Rosululloh bersabda : “Berwasiatlah kalian yang baik kepada kaum wanita, karena mereka tercipta dari tulang rusuk, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas, maka kalau engkau meluruskannya berarti engkau mematahkannya, namun jika engkau membiarkannya maka dia akan selamanya bengkok, oleh karena itu berwasiatlah yang baik kepada wanita.” (HR. Bukhori 5168, Muslim : 1468)
karena itu…saudariku…jangan mubazirkan perasaanmu…air matamu…jangan kau umbar semua perasaan cintamu ketika engkau tengah menjalin proses taarufan…jangan kau umbar semua kekuranganmu…jangan kau ceritakan semuanya…jangan kau terlalu ngotot ingin dengannya…jika engkau mencintainya…karena belum tentu dia adalah jodohmu…pun jangan takut bila ternyata kalian tidak merasa cocok…karena Allah telah menetapkan yang terbaik untuk kalian…

maka…memohonlah padaNya…mintalah padanya diberikan petunjuk…dan dijauhkan dari segala godaan yang ada…karena…cinta sebelum pernikahan…pada hakekatnya adalah sebuah cobaan yang berat…

apakah kalian sering merasa takut…?? Karena hanya memiliki sedikit saja atau bahkan tidak memiliki teman laki-laki…???

kemudian saudariku….apakah kalian sering merasa takut…?? Karena hanya memiliki sedikit saja atau bahkan tidak memiliki teman laki-laki…???Apakah kalian merasa khawatir…???Apakah kalian sering merasa iri melihat gadis-gadis lain yang banyak yang mencintai…banyak yang melamar…banyak yang menginginkannya…??Pernahkan terlintas rasa iri tersebut pada kalian…???Atau sekedar ungkapan…”hmm…enak ya..kamu…punya banyak temen laki-laki….”“hmm..kamu sih enak…banyak yang mau…tinggal milih…?”Saudariku…ketahuilah….Kelak…kita hanya akan memiliki satu orang suami…Hanya satu saudariku…atau kadang lebih…jika cerai dan menikah lagi…namun saat yang bersamaan…kita hanya akan punya satu suami bukan,,,,???Jadi seberapa banyak pun laki-laki yang menyukai kita..Seberapa banyak teman laki-laki kita…Seberapa banyak kenalan kita….Pada akhirnya kita hanya akan menikah dengan satu orang laki-laki…Pada akhirnya kita hanya akan jadi milik satu orang laki-laki…

Dan…percayalah…semua itu tidak ada kaitannya dengan banyak sedikitnya kenalan…banyak sedikitnya teman laki-laki

sama sekali tidak…karena jika wanita yang terjaga maka Allahlah yang akan mengirimkan pendamping untuknya…karena wanita yang terjaga adalah wanita yang banyak didamba oleh seorang ikhwan sejati…jadi…jagalah dirimu…hatimu…kehormatanmu…sebelum saatnya tiba…

perbanyak bekalmu…dan doamu…yakinlah…bahwa Allah yang akan memilihkan yang terbaik untukmu…amien…

*Ya Allah…karuniakanlah kami seorang suami yang sholeh…yang menjaga dirinya…yang menjaga hatinya hanya untuk yang halal baginya…yang senantiasa memperbaiki dirinya…yang senantiasa berusaha mengikuti sunnah Rasulullah…yang baik akhlaknya…yang menerima kami apa adanya…yang membimbing kami dengan lemah lembut…yang akan membawa kami menuju JannahMu Ya Rabb…

kabulkan ya Allah…amien…dan segerakanlah…karena hati kami teramat lemah…dan cinta sebelum menikah adalah sebuah cobaan yang berat…