Imam Syafi'i Kamis, 22 Maret 2012


          الحمد لله تعالى الذي علم الإنسان. وهدى إلى الفرقان. والصلاة والسلام على النبي المرسل بالقرآن. وعلى آله وأصحابه سادة أهل الإيمان.
Saudaraku: Sesungguhnya beribadah kepada Allah SWT adalah tujuan utama penciptaan makhluk di dunia hanya untuk itu mereka diciptaka dan orang yang bahagia diantara mereka adalah orang yang sibuk dengan tugas ibadah.
Ibadah tidak menjadi benar kecuali jika dilakukan dengan pengetahuan yang jelas, karena itu Allah SWT mengutus para rasul a.s., diturunkanya kitab-kitab, semua itu agar membimbing manusia kepada jalan yang lurus. Para pengikut rasul berada di atas pengetahuan yang jelas, mereka adalah manusia yang paling mengerti bagaimana beribadah kepada Tuhanya, karena mereka telah mempelajari wahyu, adapun orang yang buta akan ilmu wahyu, maka itulah orang yang bingung dan tidak akan dapat menyembah Tuhanya dengan pengetahuan yang jelas.
Wahai saudaraku, marilah kita merenungi muhasabah ini:
Seriuskah anda dalam belajar tentang agama anda?
Ini adalah tema muhasabah kita, dan ini adalah pertanyaan yang harus ditanyakan oleh setiap muslim kepada dirinya…
Saudaraku, keseriusan anda dalam mempelajari agama anda adalah awal keberuntungan anda..karena anda akan meniti jalan menuju surga
Imam Hasan Al-Bashri mengatakan: “ Sesungguhnya seseorang belajar satu bab tentang masalah agama, lalu ia mengamalkan, itu lebih baik dari dunia dan segala isinya”
Sofyan Al-Tsauri mengatakan:” Tiada sesuatu yang dimaksudkan untuk Allah yang lebih utama dari menuntut ilmu, dan tidak ada menuntut ilmu di suatu masa yang lebih baik dari masa sekarang, alangkah membutuhkanya anda wahai saudaraku muslim akan ilmu yang bermanfaat yang denganya anda mengenal Tuhanmu, lalu kamu meng-Esakan-Nya(tidak menyekutukan-Nya) dalam beribadah dan menyembah-Nya dengan pengetahuan yang jelas, dan kemulian ilmu itu sesuai dengan kemulian yang dipelajari, dan ilmu syar’i itu mulia semata-mata karena kemuliaan agama, dan itu adalah harta yang termahal.
Rasulullah saw bersabda:
((الدنيا ملعونة، ملعون ما فيها، إلا ذكر الله وما والاه، أو عالماً أو متعلما)) (رواه الترمذي وابن ماجه وغيرهما:السلسلة الصحيحة:2797(
“ Dunia itu berisi laknat, seluruh isinya terlaknat, kecuali zikir kepada Allah dan yang terkait denganya, atau orang yang berilmu atau terpelajar.” (HR: Tirmizi, Ibnu Majah dll).
Wajib atasmu wahai orang muslim, untuk mengetahui bahwa mempelajari agama bagi anda adalah kebutuhan yang jauh lebih penting dari sekedar makan dan minum!
Sebagaimana anda serius dalam mencari rezki untuk hidup, maka hendaklah anda juga serius dalam mempelajari agama anda, karena itulah kehidupan yang sebenarnya yang tanpanya anda ibarat mati.
Imam Ahmad bin Hambal mengatakan: ” Manusia lebih membutuhkan ilmu dari sekedar membutuhkan makan dan minum, karena makan dan minum dibutuhkan sekali atau dua kali sehari, sedang ilmu senantiasa dibutuhkan selama nafas masih dikandung badan.”
Ibnu Al-Qayim mengatakan:” Orang-orang yang memilki pengetahuan tentang Tuhan-Nya dan tentang perintah-Nya, mereka itulah ruh kehidupan sebenarnya, mereka senantiasa dibutuhkan dan tidak pernah tidak walau sekejap, kebutuhan hati akan ilmu tidak sama dengan kebutuhan nafas akan udara, ia lebih besar!, secara umum ilmu bagi hati ibarat air bagi ikan, jika ia kehilangan maka ia mati, ilmu yang datang kepada hati ibarat cahaya datang kepada mata.”
Wahai saudaraku, Berangkat dari kebutuhan yang besar inilah, maka wajib bagi setiap muslim untuk belajar tentang agamanya sesuatu yang dapat membimbingnya agar beribadah kepada Allah SWT dengan pengetahuan yang jelas.
Rasulullah saw bersabda:
((طلب العلم فريضة على كل مسلم)  (رواه ابن ماجه:صحيح ابن ماجه للألباني:184)
Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim” ( HR: Ibnu Majah; sahih Ibnu Majah milik Al-Albani: 184).
Imam Malik pernah ditanya tentang menuntut ilmu, apakah wajib? Ia menjawab:“ Adapun pengetahuan tentang syariat-syariatnya, sunah-sunahnya dan fiqhnya yang nampak maka hal itu wajib, dan yang selainya termasuk darinya, barang siapa lemah (tidak ada kemampuan) dalam mengetahuinya maka tidak ada kewajiban atasnya“
Ibnu Abdul Barr mengatakan: “  Para ulama bersepakat bahwa ilmu ada yang fardhu ain atas setiap orang, dan ada yang fardhu kifayah, yaitu jika ada yang telah melaksanakanya maka kewajibanya gugur atas yang lain, dan mereka berbeda pendapat dalam perincianya , adapun yang wajib atas semua orang dari hal tersebut adalah kewajiban-kewajiban yang tidak ada keleluasaan bagi manusia untuk tidak mengetahuinya.“
Ia menyebutkan diantara hal tersebut adalah: Ma’rifatullah (mengenal Allah), tauhid, shalat lima waktu beserta pekerjaan-pekerjaan yang wajib untuk dilakukan di dalamnya, puasa ramadhan dan syarat-syarat syah maupun syarat-syarat yang membatalkanya, haji jika memiliki kemampuan untuk melakukanya, zakat jika memiliki harta, dan segala hal yang tidak ada udzur untuk tidak mengetahuinya, seperti; haramnya zina, riba, khamr, memakan daging babi, memakan bangkai, ghasab, menyogok, persaksian palsu, memakan harta orang dengan cara batil, haramnya berbuat zalim, dan keharaman-keharaman yang lain.
Wahai saudaraku, perkara-perkara di atas adalah hal-hal yang tidak layak bagi seorang muslim untuk tidak mengetahuinya, intropeksilah diri anda: seberapa bagian ilmu syar’i yang telah anda milki?
Manusia berbeda-beda tingkat keseriusanya dalam belajar agama, saya akan menyebutkan tingkatan-tingkatan tersebut dari perkataan para ulama, lihatlah diri anda ada tigkatan manakah?
Imam Ali r.a. berkata: “ Manusia itu ada tiga; ulama robbani, pelajar yang meniti jalan keselamatan, dan orang yang hina yang mengikuti setiap seruan(baik ataupun buruk) terombang-ambing oleh angin“
Ibnu Mas’ud berkata:“ Jadilah kamu ulama atau pelajar, dan jangan menjadi antara keduanya“
Dari Humaid dari Al-Hasan bahwasanya Abu Darda‘ berkata: “ Jadilah kamu ulama atau pelajar, atau pecinta, atau pengikut,dan jangan menjadi yang kelima, karena kamu akan binasa!
Humaid berkata: Aku bertanya kepada Al-Hasan: Apa yang kelima?
Ia menjawab: Mubtadi‘ (Ahli bid’ah).
Saudaraku, Hisablah dirimu; kamu berada digolongan mana dari golongan-golangan tersebut?
 Jangan sekali-kali kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak memperdulikan aturan agama dan fiqh!
Berapa banyak orang shalat sedang ia tidak mengetahui cara shalat yang benar sebagaimana shalatnya Rasulullah saw!
Dan berapa banyak orang berpuasa yang melakukan banyak pelanggaran sedang ia tidak menyadarinya!
Dan berapa banyak orang yang berangkat haji ke baitul haram sedang ia tidak mengetahui bagaimana manasik yang benar.!
Dan berapa banyak pelaku bid’ah yang yang melakukan berbagai perbuatan bid’ah sedang ia menyangkah hal itu bagian dari sunah!
Dan berapa banyak pedagang yang mempraktekan berbagai macam bentuk muamalah yang haram, sedang ia menyangka hal itu adalah halal!
Dan berapa banyak orang yang memakan harta manusia secara batil dalam keadaan ia tidak mampu membedakan antara yang halal dan yang haram!
Dalam semua itu anda akan mendapatkan bahwa mayoritas penyebabnya adalah kebodohan akan hukum syariat, dan yang aneh lagi adalah anda akan menemukan fakta di atas terjadi pada sekelompok orang dalam usia yang tidak layak bagi mereka untuk tidak mengetahui hukum-hukum syariat, khususnya dalam situasi yang banyak didapatkan berbagai sarana untuk belajar hukum-hukum syariat, sehingga menjadi mudah bagi muslim untuk mengenal agamanya.
Abdullah bin Al-Mubarak pernah ditanya: Sampai kapan seseorang masih harus belajar? Ia menjawab: selama kebodohan itu tidak pantas baginya, ia masih harus belajar.“
Muhamad bin Al-Fadhl As-Samarqandi Al-Wa’idz berkata: Berapa banyak orang bodoh mendapatkan ilmu maka ia selamat, dan berapa banyak ahli ibadah yang beramal dengan amalan orang bodoh maka ia binasa, hadirlah, berilmulah, jika niat tidak hadir kepadamu, maka sesungguhnya engkau dapat mencarinya dengan ilmu, dan sesungguhnya sesuatu yang nampak pertama kali dari hamba adalah lisanya, dan sesuatu yang pertama kali nampak dari akalnya adalah kedewasaanya.“
Wahai saudaraku, antusiaslah dalam mempelajari agamamu, hilangkan segala hambatan yang yang menghambatmu darinya, sesungguhnya ilmu itu diperoleh dengan belajar. Dan hambatan pertama yang menghalangi seseorang dari belajar ilmu syar’i: malu dan sombong.
Mujahid berkata: “ Tidak akan belajar orang yang malu dan sombong.“
Adapun malu, maka setiap rasa malu yang mencegah seseorang dari kemuliaan, maka itu bukanlah malu, karena malu adalah perangai yang mencegah seseorang dari keburukan, sedang orang yang tidak datang kepada majlis-majlis ilmu, dan tidak bertanya kepada ulama tentang sesuatu yang tidak ia fahami, maka ia berada dalam bahaya yang besar! Karena ia akan melakukan sesuatu tanpa ilmu!
 Dan adapun orang sombong, Maka ia terjatuh ke dalam dosa besar, terkait orang sombong Rasulullah saw bersabda:
)) لا يدخل الجنة من في قلبه خردلة من كبر ) ((رواه الحاكم والطبراني:صحيح الترغيب للألباني:2910(
“ Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya ada sebiji sawi dari kesombongan” (HR: Al-Hakim dan At-Tabrani: Shahih at-targib imam al-bani)
Saudaraku, sungguh faham agama adalah indikasi kebaikan dan keberuntunganmu, karena jika kamu memiliki pehaman tentang agamamu, maka kamu akan menjadi orang yang dapat beribadah kepada Allah dengan pengetahuan yang jelas, sehingga kamu akan semakin dekat kepada-Nya.
Rasulullah saw bersabda:
))من يرد الله به خيراً يفقهه في الدين... )  ((رواه البخاري ومسلم(
“ Barang siapa dikehendaki Allah suatu kebaikan, niscaya ia akan diberi pehaman tentang agama” (HR; Bukhari Muslim)
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan:“ Maksud hadits di atas adalah barang siapa tidak bertafaquh(belajar/memahami) agama atau tidak mempelajari kaidah-kaidah islam dan cabang-cabang yang terkait denganya, maka ia tercegah dari mendapatkan kebaikan, karena orang yang tidak mengenal perkara-perkara tentang agamanya tidak dikatakan faqih (ahli fiqh/agama), tidak pula dikatakan thalib fiqh(pelajar fiqh/agama), sehingga pantas untuk dikatakan sebagai orang yang tidak dikehendaki padanya kebaikan, hal itu menunjukan dengan jelas keutamaan para ulama atas manusia selainya, disamping menunjukan bahwa tafaquh fi ad-din (belajar agama) lebih utama atas belajar ilmu-ilmu yang lain.
Intropeksilah diri kalian wahai orang yang berakal, tidakah anda menginginkan untuk masuk ke dalam barisan orang-orang yang dikehendaki padanya kebaikan ini!
Sungguh tidak sama antara orang yang faham agamanya dengan orang yang bodoh tentang agamanya!
قُل هَلْ يَسْتوِي الذِينَ يَعْلَمُونَ وَالذيِنَ لا يَعْلَمُونَ إنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُوا الأَلبَابِ ) الزمر:9(
“ Katakanlah, apakah sama orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?, sesungguhnya orang yang berakalah yang dapat menerima pelajaran“ (QS: Az-Zumar: 9).
Abu Darda’ mengatakan:” Allah SWT memberikan rezki kepada orang-orang yang bahagia, dan mencegahnya dari orang-orang yang sengsara.”
Ibnu Qayim berkata:” Kebahagiaan yang hakiki adalah kebahagiaan jiwa, ruh dan hati, yakni kebahagiaan ilmu yang membuahkan manfaat, dialah yang kekal dalam kondisi apapun, dan dialah yang selalu menyertai hamba dalam seluruh perjalananya, dan dalam tiga waktunya( pagi, siang dan malam), denganya ia naik ke tangga keutamaan dan derajat kesemurnaan, semakin lama akan semakin kuat dan tinggi.”
Akan tetapi alangkah banyaknya jumlah orang-orang yang lengah dari mencari kebahagiaan ini!. Anda melihat diantara mereka ada yang berambisi dalam mengeruk dinar dan dirham, serius dalam mempelajari sarana-sarana dalam mendapatkan rezki dan menumpuk harta, namun anda mendapatkanya zuhud dalam mempelajari agamanya dan dalam menumpuk tabungan ilmu yang bermanfaat!
Mereka cemas jika rugi dalam hartanya, meski sedikit…. namun tidak pernah cemas saat rugi besar dalam agamanya.
Mereka gembira jika mendapatkan sedikit harta….. namun tidak merasa gembira ketika mendapatkan ilmu tentang agamanya.
عن عقبة بن عامر قال: خرج رسول الله ونحن في الصفة، فقال: أيكم يحب أن يغدو كل يوم إلى بطحان، أو إلى العقيق؛ فيأتي منه بناقتين كوماوين، في غير إثم ولا قطع رحم؟فقلنا: يا رسول الله نحب ذلك، قال: أفلا يغدو أحدكم إلى المسجد؛ فيعلم أو يقرأ آيتين من كتاب الله عز وجل خير له من ناقتين، وثلاث خير له من ثلاث، وأربع خير له من أربعٍ، ومن أعدادهن من الإبل؟ (رواه مسلم)
 “ Dari Uqbah bin Amir, ia berkata: Rasulullah saw keluar ketika kami berada di shuffah(tempat di masjid nabawi), lalu bersabada:” Siapa diantara kalian yang mau pergi setiap hari ke bath’han(saluran air sungai yang berpasir dan berkerikil) atau lembah, lalu ia datang darinya dengan membawa dua ekor unta yang besar punuknya, tanpa melalui dosa maupun memutuskan tali kekerabatan?, kami berkata: Ya Rasulullah kami mau itu, ia bersabda: “ kenapa salah seorang dari kalian tidak pergi ke masjid, lalu ia belajar atau membaca dua ayat dari kitab Allah SWT, itu lebih baik dari dua unta, dan tiga lebih baik dari tiga, dan empat lebih baik dari empat, dan begitu seterusnya lebih baik dari jumlah unta seterusnya”. (HR: Muslim).
Abu Ganiah Al-Khaulani berkata:” Bisa jadi satu kata lebih baik dari memberi harta, karena harta menjadikanmu lalim, sedang kata  menjadikanmu mendapatkan petunjuk.”
Saudaraku, Sesungguhnya sebaik-baik ilmu yang kamu pelajari adalah ilmu yang menunjukanmu kepada ma’rifatullah dan menuntunmu beribadah kepada-Nya dengan pengetahuan yang jelas, dan kamu tidak akan pernah mendapatkan harta yang lebih mahal darinya.
Nabi saw bersabda:
((خيركم من تعلم القرآن وعلمه))  ( رواه البخاري(
“ Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar al-qur’an dan mengajarkanya” (HR: Bukhari)
Dan dari Ali Al-Azdi, ia berkata:” Aku bertanya kepada Ibnu Abas tentang jihad, ia menjawab:  “ Tidakah kamu mau aku tinjukan kepadamu sesuatu yang lebih baik dari jihad? Kamu bangun masjid yang di dalamnya kamu mengajar al-qur’an dan sunah-sunah rasul saw, dan fiqh (ilmu agama).
Saudaraku, sesungguhnya bertanya kepada orang-orang yang berilmu adalah tangga menuju pemahaman akan ilmu agama, Allah SWT telah menganjurkan kalian agar bertanya kepada para ulama jika anda menemukan permasalahan. Dia berfirman:
))فَاسْألوا أهْل الذَكْرِ إن كُنُتْم لا تَعْلَمُونَالأنبياء:7(
“ Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.”
Ibnu Abas r.a. pernah ditanya: Bagaimana aku bisa mendapatkan ilmu ini?
Ia menjawab:” Dengan lisan yang senantiasa bertanya dan hati yang selalu memahami.”
Bertanya kepada orang yang berilmu adalah obat bagi kebodohan, janganlah kamu sekali-kali melakukan satu perkara agama dalam keadaan kamu tidak mengetahui hukumnya, karena sesungguhnya beribadah kepada Allah SWT dengan kebodohan hanya akan menambah jauh seorang hamba dari Tuhanya.
Ibnu Mas’ud r.a. berkata:” Ilmu itu bertambah dengan pencarian, dan didapatkan dengan pertanyaan, pelajarilah apa yang tidak kamu ketahui, dan amalkanlah apa yang kamu ketahui.”
Abu Darda’ r.a. berkata:” Ilmu itu diperoleh dengan belajar, dan kedewasaan itu dicapai dengan latihan, barang siapa berusaha mencari kebaikan, pasti akan diberi, dan barangsiapa menjauhi keburukan pasti dijauhkan darinya.”
Ibnu Al-Mubarak ditanya: Apakah yang tidak ada keluasan bagi orang mukmin kecuali harus mencarinya? Dan apa yang wajib dipelajarinaya? Ia menjawab: “ tidak boleh baginya untuk melakukan sesuatu melainkan dengan ilmu, dan tidak ada keluasan baginya hingga ia bertanya.”
Dan ketahuilah wahai saudaraku, dintara kemuliaan bagi orang yang antusias dalam belajar ilmu yang bermanfaat adalah bahwasanya rasulullah saw mewasiatkan itu, dan cukuplah itu sebagai kemuliaan bagi setiap orang yang bersungguh-sungguh dalam belajar agama.
Rasulullah saw bersabda:
))سيأتيكم أقوام يطلبون العلم، فإذا رأيتموهم فقولوا لهم: مرحباً مرحباً بوصية رسول الله واقنوهم ((
“ Akan datang kepada kalian beberapa kaum yang menuntut ilmu, jika kalian melihat mereka, maka katakanlah kepada mereka: marhaban, selamat datang wasiat rasulullah saw, dan ajarilah mereka.” (HR: Ibnu Majah; sahih Ibnu Majah, Al-Bani: 203)
Saudaraku, sungguh ilmu yang sedikit yang kamu bersungguh-sungguh dalam menuntutnya agar faham agama, lebih baik dari berlipat-lipat amal shalih yang kamu kerjakan, bagaimana tidak? Sesungguhnya ilmu itu membimbing kepada ibadah yang benar, tidak ada ibadah tanpa ilmu.
Abu Hurairah r.a. berkata: “ Tiap seuatu ada tiangnya, dan tiang agama ini adalah fiqh(faham), Dan tidaklah Allah SWT disembah  dengan sesuatu yang lebih utama dari fiqh(faham) dalam masalah agama. Sungguh, satu orang faqih(berilmu) lebih berat untuk dihadapi setan daripada seribu ahli ibadah.”
Sesungguhnya kamu –wahai muslim-, tidak memerlukan banyak tenaga untuk dapat memahami agama, berikut inilah tahapan-tahapan belajar agama:
Pertama: Mulailah dengan kitab Allah SWT (al-qur’an), berupayalah membaguskan bacaan al-quran sesuai dengan tajwid, dan sarana untuk itu banyak sekali, yang paling utama adalah membaca dihadapan seorang syekh yang benar bacaanya, disamping mendengar tilawah yang bagus dari kaset-kaset, memperbanyak praktek baca al-qur’an, dan sebaiknya anda juga merujuk kepada kitab-kitab tafsir, agar dapat memadukan antara pengetahuan tentang cara membaca yang benar dengan pemahaman terhadap makna ayat yang anda baca.
Kedua: Membaca kitab-kitab fiqh yang mudah, khususnya dalam tema-tema yang kamu butuhkan sehari-hari, seperti tata-cara solat, wudhu’, mandi, tayamum, hukum-hukum terkait orang yang bepergian. Dan jika kamu termasuk orang-orang yang punya harta, maka kamu harus mempelajari hukum-hukum seputar zakat, jual-beli dan muamalat.
Ketiga: Membaca buku-buku yang ringkas seputar syarah hadits, dan ilmu-ilmu syar’i dalam tema-tema ringkas, urutan pertama adalah dalam hal ini adalah: ilmu tauhid, caranya dibaca dengan perlahan-lahan dan penuh pehaman, dan prinsip umum dalam belajar hal tersebut adalah meminta bimbingan dari syekh atau guru, jika tidak bisa sebagaimana kondisi  kebanyakan orang, maka belajar dengan menggunakan tahapan-tahapan di atas dengan kesungguhan dan kesabaran dapat mengantarkan kepada hasil yang diinginkan.
Keempat: Senantiasa bertanya kepada orang yang berilmu dalam setiap kali menjumpai permasalahan, memenej waktu luang dengan baik dan memanfaatkanya untuk mengambil pelajaran dari ceramah-ceramah.
Keinginan yang kuat adalah prinsip utama semua hal di atas, maka wajib atas setiap muslim untuk bersungguh-sungguh dalam belajar agama dan menguatkan niatnya, ia tidak akan penah kehilangan pertolongan dari Allah SWT.
Saudaraku, anda tidak harus menguasai seluruh ilmu syar’I, namun jika kamu memiliki kkesungguhan dan dorongam yang kuat untuk mencapai itu, maka itu adalah baik.
Adapun batas minimal yang wajib untuk anda pelajari dari ilmu syar’i telah anda ketahui dari ulasan sebelumnya, yaitu sesuatu yang yang tanpanya anda tidak akan dapat beribadah kepada Allah SWT dengan benar.
Maka bersungguh-sungguhlah dalam mempelajari agama anda, jangan sia-siakan waktu anda untuk sesuatu yang tida bermanfaat, dan memintalah kepada Allah agar Dia memberi pertolongan kepadamu.
Rasulullah saw bersabda:
))  سلوا الله علماً نافعاً، وتعوذوا بالله من علم لا ينفع))  (رواه ابن ماجه:صحيح ابن ماجه للألباني:3114 )
Mintalah kepada Allah ilmu yang bermanfaat, dan berlindunglah kepadanya dari ilmu yang tiada bermanfaat.“ (HR: Ibnu Majah; sahih Ibnu Majah; Albani: 3114).
والحمد لله تعالى.. والصلاة والسلام على النبي محمد وآله وصحبه
         

Imam Syafi'i


اَلْحَيَاءُ لاَ يَأْتِي إِلاَّ بِخَيْرٍ
"al Haya' ( Rasa malu) tidak datang kecuali dengan kebaikan."
          
 Sesungguhnya di antara fenomena keseimbangan dan tanda-tanda kesempurnaan dalam tarbiyah bahwa engkau menemukan seorang mukmin yang kuat, teguh, bersifat malu, beradab dan tenang.

          Malu yang terpuji adalah : perilaku yang muncul atas meninggalkan yang tercela.[1] Seperti yang didefinikan oleh Ibnu Hajar rahimahullah. Adapun taharuuj (merasa berat) dari amar ma'ruf dan nahi munkar, berani dalam kebenaran dan memahami agama, maka tidak termasuk sifat haya'`. Ini adalah sebagian yang disinggung oleh Ibnu Hajar rahimahullah saat membagi sifat haya'` kepada yang syar'i dan tidak. Ia berkata: 'Haya'` yang syar'i adalah yang terjadi di atas jalur membesarkan dan menghormati terhadap orang-orang besar, itulah yang terpuji. Adapun yang terjadi disebabkan meninggalkan perintah syara', maka ia adalah yang tercela dan bukan termasuk haya'` secara syara', ia pada dasarnya adalah sifat lemah dan hina.'[2]

          Tidak sepantasnya bersifat haya'` dalam menuntut hak, mengajar orang yang jahil, bertanya tentang sesuatu yang tidak kita ketahui..... Mujahid rahimahullah berkata:  'Tidak bisa menuntut ilmu orang yang pemalu dan yang sombong.  Aisyah radhiyallahu 'anha berkata: 'Sebaik-baik wanita adalah wanita anshar, rasa malu tidak menghalangi mereka untuk bertanya tentang masalah agama.'[3] Ummu Sulaim radhiyallahu 'anha bertanya dalam masalah-masalah kecil dalam hukum yang berkaitan dengan wanita, dan ia membuka pertanyaan dengan ucapannya: 'Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah I tidak malu dari kebenaran.' Ibnu Hajar rahimahullah berkata: 'Maksudnya Dia I tidak menyuruh malu dalam kebenaran.'[4]

          Dan siapa yang tidak diberikan sifat haya'` secara fitrah, ia dituntut untuk berusaha dan belajar dengannya. Terlebih lagi, sesungguhnya ia adalah akhlak utama bagi para pengikut agama ini. Sebagaimana disebutkan dalam hadits hasan:
إِنَّ لِكُلِّ دِيْنٍ خُلُقًا وَخُلُقُ اْلإِسْلاَمِ الحَيَاءُ
"Sesungguhnya bagi setiap agama ada akhlak dan akhlak Islam adalah sifat haya'`"[5]

Dan disebutkan bahwa haya'` termasuk sunnah para rasul dan ia termasuk bagian dari iman:
اَلْحَيَاءُ مِنَ اْلإِيْمَانِ وَاْلإِيْمَانُ فِى الْجَنَّةِ وَالْبَذَاءُ مِنَ الْجَفَاءِ وَالْجَفَاءُ فِى النَّارِ

"Haya'` termasuk bagian dari iman dan iman (balasannya) di surga. Dan ucapan cabul/jorok termasuk sifat tidak sopan dan tidak sopan itu di neraka."[6]
Dan kekasih dan panutan kita r (lebih pemalu dari pada gadis perawan dalam biliknya).[7] Setelah semua itu, apakah kita memilih sifat haya'` atau sifat jorok? Apakah kita berpakaian dengan iman atau tidak sopan? Dan apakah kita mengutamakan akhlak para penghuni surga atau akhlak para penghuni neraka?
         
 Sungguh kaum jahiliyah –di atas kejahiliyahan mereka- merasa berat dari sebagian perbuatan jahat/buruk karena dorongan sifat haya'`. Di antaranya yang pernah terjadi bersama Abu Sufyah t di hadapan Heraqlius. Tatkala ia ditanya tentang Rasulullah r. Ia berkata: 'Demi Allah, jika bukan karena malu bahwa mereka menuduh aku berdusta niscaya aku berdusta tentang dia.'[8] Maka sifat haya'` menghalangi dia mengada-ada (berdusta) terhadap Rasulullah r agar dia tidak dikatakan pendusta. Di saat sekarang, kaum muslimin sangat membutuhkan akhlak ini dengan menjaga kata-kata dan menahan diri dari perbuatan keji dan syahwat dengan adanya rasa malu.
          
     Engkau melihat laki-laki yang pemalu memerah mukanya apabila muncul darinya atau dari yang lain sesuatu yang berlawanan dari sifat haya'`: Rasulullah r lebih pemalu dari pada gadis perawan dalam biliknya dan apabila beliau tidak menyukai sesuatu hal itu terlihat dari wajahnya.'[9]
 
          Dan termasuk sifat haya'` adalah yang terjadi karena membesarkan dan menghormati orang-orang besar: tidak adalah Ibnu Umar t ketika Rasulullah r bertanya kepada para sahabat: 'Sesungguhnya di antara pohon ada satu pohon yang tidak jatuh daunnya, dan ia seperti seorang muslim. Ceritakanlah kepadaku, apakah dia?'[10] Ibnu Umar t mengetahui bahwa ia adalah pohon kurma dan merasa malu untuk menjawab dan dia memberikan alasan rasa malunya –seperti dalam beberapa riwayat hadits- bahwa ia melihat dirinya adalah yang paling muda dan ia melihat ada Abu Bakar t dan Umar t yang tidak berbicara, maka ia tidak senang berbicara.'[11] Alangkah lapangnya dada masyarakat tersebut yang merasa malu padanya yang muda dari yang tua, dan manusia berinteraksi dengan saling menghormati dan menghargai.

          Sifat haya'` itu sendiri merupakan penjaga dari terjerumus dalam perbuatan maksiat. Diriwayatkan bahwa seorang sahabat mencela saudaranya karena sifat malunya. Seolah-olah ia berkata: Sifat haya'` telah merugikanmu. Maka Rasulullah r bersabda:
دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ اْلإِيْمَانِ
'Biarkanlah dia, sesungguhnya sifat haya' itu termasuk bagian dari iman.'[12]
Abu Ubaid al-Harawi berkata: maksudnya, sesungguhnya orang yang merasa malu terputus dengan sifat malunya dari perbuatan maksiat, maka jadilah ia seperti iman yang memutuskan di antaranya dan perbuatan maksiat.'[13] Karena itulah Rasulullah r menyebutkan secara umum dalam menjelaskan buah sifat haya'`, beliau bersabda:
اَلْحَيَاءُ لاَ يَأْتِي إِلاَّ بِخَيْرٍ
"Haya' (malu) tidak datang kecuali dengan kebaikan."
Dan beliau r menggambarkan bahwa ia adalah perhiasan bagi perilaku, beliau r bersabda:
مَاكَانَ الْفحْشُ فِى شَيْئٍ إِلاَّ شَانَهُ وَمَاكَانَ الْحَيَاءُ فِى شَيْئٍ إِلاَّ زَانَهُ

"Tidak adalah yang keji pada sesuatu kecuali ia mengotorinya dan tidak ada sifat sifat haya' pada sesuatu kecuali menghiasinya."[14] 
Dan fenomena sifat malu dalam masyarakat yang terkadang menyeret kepada kejahatan tidak bisa dikategorikan sifat haya'` yang terpuji, karena sifat haya'` itu tidak datang kecuali dengan kebaikan. Dan sifat mudarah (menjilat, mencari muka) terhadap sebagian tradisi masyarakat yang menyimpang tidak bisa dianggap sifat haya'`, karena sifat haya' adalah hiasan bukan pengotor, sedangkan penyimpangan adalah inti perbuatan buruk dan kotor.

          Sebagaimana sifat haya'` merupakan tatakrama bersama makhluk, maka ia merupakan adab (tatakrama) tertinggi bersama al-Khaliq (Allah I Yang Maha Pencipta). Disebutkan bahwa beberapa nabi seperti Adam u, Nuh u, dan Musa u diminta untuk memberi syafaat di hari kiamat dan umat manusia berkata kepada setiap orang dari mereka: 'Berikanlah syafaat kepada kami di sisi Rabb-mu sehingga Dia melapangkan kami dari tempat kami ini. Ia (Adam u) berkata: 'Aku tidak pantas –dan ia menyebutkan dosanya lalu merasa malu…Aku tidak pantas  - dan ia (Nuh u) menyebutkan permintaannya kepada Rabb-nya yang tidak pantas lalu merasa malu…..Aku tidak pantas – dan ia (Musa u) menyebutkan pernah membunuh jiwa yang tidak berdosa lalu ia merasa malu kepada Rabb-nya…[15] Semuanya merasa berat dan dihalangi oleh rasa malu untuk berani meminta syafaat.
           
Dan karena perasaan seorang mukmin bahwa Allah I selalu melihatnya di atas semua kondisinya, maka sesungguhnya ia merasa malu dari Rabb. Karena itulah disebutkan dalam anjuran menutup aurat saat mandi di dalam kesendirian, sabda Nabi r: 'Allah I lebih pantas dirasakan malu dari-Nya dari pada manusia."[16] Orang yang merasa malu dari Rabb-nya bahwa auratnya terbuka dalam kesendiriannya sudah pasti sifat haya' (malu) menghalanginya dari perbuatan maksiat. Dan cukuplah dalam keutamaan sifat haya' bahwa para nabi terdahulu memperingatkan hilangnya sifat haya', agar seseorang tidak terjerumus dalam segala keburukan –dan tidak ada lagi penghalang baginya- seperti dalam hadits:

إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ اْلأُوْلَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ

"Sesungguhnya sebagian dari yang ditemukan manusia dari ucapan para nabi terdahulu: 'Apabila engkau tidak merasa malu maka lakukanlah apa yang engkau kehendaki."[17]
 
Dan di antara beberapa hal yang dipahami dari hadits ini:

-      Di mana engkau merasa berat dan takut mendapat dosa maka berhentilah, dan di mana hati merasa tenang dan engkau tidak merasa berat maka lakukanlah apa yang engkau kehendaki.
-      Orang yang sudah kehilangan sifat haya' maka ia melakukan apa yang dia kehendaki, dan hendaklah ia memperhatikan setelah itu apa yang dilakukan Allah I dengannya.
-      Tidak aneh apa yang kita lihat dari kemungkaran akhlak apabila kita sudah mengetahui bahwa pendorong sifat haya' telah mati. Maka yang tidak bersifat malu –biasanya- melakukan apa yang dikehendakinya tanpa merasa malu kepada siapapun.

Kesimpulan:
-      Sifat haya'` adalah perilaku yang muncul di atas meninggal yang buruk.
-      Tidak menuntut ilmu atau menuntut hak bukan termasuk malu.
-      Sesungguhnya bagi setiap agama ada akhlak dan akhlak islam adalah haya'.
-      Umat jahiliyah mempunyai sifat haya' yang menghalangi mereka dari sebagian perbuatan buruk.
-      Termasuk sifat haya' adalah menghormati yang lebih tua.
-      Sifat haya' menjaga dari terjerumus dalam perbuatan maksiat.
-      Di antara sifat haya' yang tertinggi adalah beradab bersama Allah I Yang Maha Pencipta. Al Haya' adalah pesan para nabi terdahulu.


[1]  Fathul Bari 1/522 saat mensyarahkan bab haya` dari kitab adab, hadits no. 6118
[2] Fathul Bari 1/229 saar mensyarahkan bab haya` dalam ilmu dari kitab iman.
[3]  Shahih al-Bukhari, kitab ilmu, dari tarjamah bab 50 (Fath 1/228)
[4]  Referensi yang sama, saat Ibnu Hajar menjelaskan potongan hadits 130 dari Shahih al-Bukhari.
[5]  Shahih Sunan Ibnu Majah 2/406, hadits no. 3370/4181 (Hasan).
[6]  Shahih Sunan Ibnu Majah 2/406, hadits no. 3373/4184 (Shahih).
[7] Shahih al-Bukhari, kitab adab, bab ke 77, hadits no. 6119 (Fath 10/521).
[8]  Shahih al-Bukhari, kitab permulaan wahyu, bab ke 6, hadits no. 7 (Fath 1/31).
[9]  Shahih Sunan Ibnu Majah 2/406, hadits no. 3369 (Shahih)
[10]  Shahih al-Bukhari, kitab ilmu, bab ke 4, hadits no. 61.
[11]  Fathul Bari 1/146
[12]  Shahih al-Bukhari, kitab adab, bab ke 77, hadits no. 6118 (Fath 10/521).
[13] Dari Fathul Bari 10/522 saat menerangkan hadits 6118
[14]  Shahih Sunan Ibnu Majah 2/3374 (Shahih).
[15]  Shahih al-Bukhari, kitab tafsir, surah ke dua bab 1, hadits no. 4476 (Fath 8/160).
[16]  Dari Mu'allaqat al-Bukhari dalam kitab mandi, bab ke 20, Ibnu Hajar berkata dalam Fath 1/386: (Dihasankan oleh at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh al-Hakim)
[17]  Shahih al-Bukhari, kitab adab, bab ke 78, hadits no.6120 (Fath 10/523).