Imam Syafi'i Selasa, 22 Maret 2011


Kebanyakan manusia takut terjatuh ke dalam kemiskinan. Mereka berusaha dengan berbagai cara untuk menghindarinya. Mereka begitu sedih dan berduka cita ketika mengalami kekurangan harta. Bahkan sampai-sampai di antara mereka ada yang menukar agamanya hanya untuk mendapatkan sebagian harta benda duniawi. Seperti datang ke dukun, paranormal dan yang sejenisnya untuk meminta jimat, jampi-jampi dan sejenisnya kepada mereka. Atau memelihara/meminta bantuan makhluk halus (baca:jin) dalam rangka mendapat kekayaan. Dengan ini mereka telah menjual aqidah dan agamanya dengan kesenangan duniawi yang rendah dan sesaat. Nas`alullaahas salaamah wal 'aafiyah.

Kebanyakan manusia takut terjatuh ke dalam kemiskinan. Mereka berusaha dengan berbagai cara untuk menghindarinya. Mereka begitu sedih dan berduka cita ketika mengalami kekurangan harta. Bahkan sampai-sampai di antara mereka ada yang menukar agamanya hanya untuk mendapatkan sebagian harta benda duniawi. Seperti datang ke dukun, paranormal dan yang sejenisnya untuk meminta jimat, jampi-jampi dan sejenisnya kepada mereka. Atau memelihara/meminta bantuan makhluk halus (baca:jin) dalam rangka mendapat kekayaan. Dengan ini mereka telah menjual aqidah dan agamanya dengan kesenangan duniawi yang rendah dan sesaat. Nas`alullaahas salaamah wal 'aafiyah.

Benarkah kemiskinan yang perlu kita takutkan? 

Benarkah kemiskinan yang dikhawatirkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam atas ummatnya?


عَنْ عَمْرو بْنِ عَوْفٍ الأَنْصَارِيِّ، أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ بَعَثَ أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ إِلَى الْبَحْرَيْنِ يَأْتِي بِجِزْيَتِهَا، فَقَدِمَ بِمَالٍ مِنَ الْبَحْرَيْنِ، فَسَمِعَتِ الأَنْصَارُ بِقُدُوْمِ أَبِي عُبَيْدَةَ، فَوَافَوْا صَلاَةَ الْفَجْرِ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ، فَلَمَّا صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ، اِنْصَرَفَ، فَتَعَرَّضُوْا لَهُ، فَتَبَسَّمَ رَسُوْلُ اللهِ حِيْنَ رَآهُمْ، ثُمَّ قَالَ: ((أَظُنُّكُمْ سَمِعْتُمْ أَنَّ أَبَا عُبَيْدَةَ قَدِمَ بِشَيْءٍ مِنَ الْبَحْرَيْنِ)) فَقَالُوْا: أَجَل يَا رَسُوْلَ اللهِ، فَقَالَ: ((أَبْشِرُوْا وَأَمِّلُوْا مَا يَسُرُّكُمْ، فَوَاللهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، فَتَنَافَسُوْهَا كَمَا تَنَافَسُوْهَا، فَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ))
Dari 'Amr bin 'Auf Al-Anshariy radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus Abu 'Ubaidah Ibnul Jarrah radhiyallahu 'anhu ke negeri Bahrain untuk mengambil upeti dari penduduknya (karena kebanyakan mereka adalah Majusi �pent). Lalu dia kembali dari Bahrain dengan membawa harta. 

Maka orang-orang Anshar mendengar kedatangan Abu 'Ubaidah. Lalu mereka bersegera menuju masjid untuk melaksanakan shalat shubuh bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam selesai shalat beliau pun berpaling (menghadap ke arah mereka). Lalu mereka menampakkan keinginannya terhadap apa yang dibawa Abu 'Ubaidah dalam keadaan mereka butuh kepadanya. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun tersenyum ketika melihat mereka.

Kemudian beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Aku menduga kalian telah mendengar bahwa Abu 'Ubaidah telah datang dengan membawa sesuatu (harta) dari Bahrain." Maka mereka menjawab, "Tentu Ya Rasulullah." Lalu beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Bergembiralah dan harapkanlah apa-apa yang akan menyenangkan kalian. Maka demi Allah! Bukan kemiskinan yang aku khawatirkan atas kalian. Akan tetapi aku khawatir akan dibentangkan dunia atas kalian sebagaimana telah dibentangkan atas orang-orang sebelum kalian. Lalu kalian pun berlomba-lomba padanya sebagaimana mereka berlomba-lomba padanya. Kemudian dunia itu akan menghancurkan kalian sebagaimana telah menghancurkan mereka." (HR. Al-Bukhariy no.3158 dan Muslim no.2961)


Jangan Takut dengan Kemiskinan!

Ketika Abu 'Ubaidah kembali dengan membawa harta dari negeri Bahrain, terdengarlah hal ini oleh orang-orang Anshar. Lalu mereka pun bersegera mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk melaksanakan shalat shubuh. Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam selesai shalat, mereka menampakkan keinginannya terhadap apa yang dibawa Abu 'Ubaidah dalam keadaan mereka butuh kepadanya. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun tersenyum yakni tertawa tanpa mengeluarkan suara. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam tersenyum karena mereka datang dalam keadaan mengharapkan harta.

Lalu beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Aku menduga kalian telah mendengar bahwa Abu 'Ubaidah telah datang dengan membawa sesuatu (harta) dari Bahrain." Maka mereka menjawab, "Tentu Ya Rasulullah." Yakni kami telah mendengarnya dan kami sengaja datang untuk mendapatkan bagian kami.

Kemudian beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Bergembiralah dan harapkanlah apa-apa yang akan menyenangkan kalian. Maka demi Allah! Bukan kemiskinan yang aku khawatirkan atas kalian."

Berarti kemiskinan bukanlah yang dikhawatirkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam atas kita.

Bahkan kadang-kadang kemiskinan bisa menjadi kebaikan bagi seseorang ketika dia bersabar dan tetap taat kepada Allah ? dalam kemiskinannya tersebut.

Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, "Bukan kemiskinan yang aku khawatirkan atas kalian." Yakni aku tidak mengkhawatirkan kemiskinan atas kalian.
Karena sesungguhnya orang yang miskin secara umum lebih dekat kepada kebenaran daripada orang yang kaya.

Perhatikanlah oleh kalian keadaan para rasul! Siapakah yang mendustakan mereka? Yang mendustakan mereka adalah para pembesar kaumnya, orang-orang yang paling jeleknya dan orang-orang kaya. Dan sebaliknya, kebanyakan yang mengikuti mereka adalah orang-orang miskin. Sampai pun Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, kebanyakan yang mengikuti beliau adalah orang-orang miskin.

Maka kemiskinan bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Jangan sampai kita takut miskin atau tidak bisa makan. Jangan sampai selalu terbetik dalam hati kita, "Besok kita makan apa?" Jangan khawatir! Yang penting kita berusaha mencari rizki dengan cara yang halal, berdo'a dan bertawakkal kepada Allah. Karena sesungguhnya Allah telah menjamin rizki seluruh makhluk-Nya.


وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا

"Dan tidak ada suatu yang melata pun (yakni manusia dan hewan) di muka bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizkinya." (Huud:6)

Bahkan sesuatu yang harus kita khawatirkan adalah ketika dibentangkan dunia kepada kita. Yakni ketika kita diuji dengan banyaknya harta benda. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, "Akan tetapi aku khawatir akan dibentangkan dunia atas kalian sebagaimana telah dibentangkan atas orang-orang sebelum kalian. Lalu kalian pun berlomba-lomba padanya sebagaimana mereka berlomba-lomba padanya. Kemudian dunia itu akan menghancurkan kalian sebagaimana telah menghancurkan mereka."

Menghancurkan kalian artinya menghilangkan agama kalian yakni dikarenakan dunia, kalian menjadi lalai dan meninggalkan ketaatan kepada Allah.



Bahayanya Dunia bagi Seorang Muslim

Dunia sangat berbahaya bagi seorang muslim. Inilah kenyataannya. Lihatlah keadaan orang-orang di sekitar kita. Ketika mereka lebih dekat kepada kemiskinan (yakni dalam keadaan miskin), mereka lebih bertakwa kepada Allah dan lebih khusyu'. Rajin shalat berjama'ah di masjid, menghadiri majelis 'ilmu dan lain-lain. Namun, ketika banyak hartanya, mereka semakin lalai dan semakin berpaling dari jalan Allah. Dan muncullah sikap melampaui batas dari mereka.

Akhirnya, sekarang manusia menjadi orang-orang yang selalu merindukan keindahan dunia dan perhiasannya: mobil, rumah, tempat tidur, pakaian dan lain-lainnya. Dengan ini semuanya, mereka saling membanggakan diri antara satu dengan lainnya. Dan mereka berpaling dari amalan-amalan yang akan memberikan manfaat kepadanya di akhirat.

Jadilah majalah-majalah, koran-koran dan media lainnya tidaklah membicarakan kecuali tentang kemegahan dunia dan apa-apa yang berkaitan dengannya. Dan mereka berpaling dari akhirat, sehingga rusaklah manusia kecuali orang-orang yang Allah kehendaki.

Maka kesimpulannya, bahwasanya dunia ketika dibukakan �kita memohon kepada Allah agar menyelamatkan kami dan kalian dari kejelekannya- maka dunia itu akan membawa kejelekan dan akan menjadikan manusia melampaui batas.


كَلاَّ إِنَّ الإِنْسَانَ لَيَطْغَى. أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى

"Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup." (Al-'Alaq:6-7)

Dan sungguh Fir'aun telah berkata kepada kaumnya,


يَاقَوْمِ أَلَيْسَ لِي مُلْكُ مِصْرَ وَهَذِهِ الأَنْهَارُ تَجْرِي مِنْ تَحْتِي أَفَلاَ تُبْصِرُونَ

"Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku; maka apakah kalian tidak melihat(nya)?" (Az-Zukhruf:51)

Fir'aun berbangga dengan dunia. Oleh karena itulah, maka dunia adalah sesuatu yang sangat berbahaya.

Hadits di atas mirip dengan hadits berikut:


عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: جَلَسَ رَسُوْلُ اللهِ عَلَى الْمِنْبَرِ، وَجَلَسْنَا حَوْلَهُ، فَقَالَ: ((إِنَّ مِمَّا أَخَافُ عَلَيْكُمْ مِنْ بَعْدِي مَا يُفْتَحُ عَلَيْكُمْ مِنْ زَهْرَةِ الدُّنْيَا وَزِيْنَتِهَا))

Dari Abu Sa'id Al-Khudriy radhiyallahu 'anhu dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam duduk di atas mimbar dan kami pun duduk di sekitar beliau. Lalu beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya di antara yang paling aku takutkan atas kalian sepeninggalku adalah ketika dibukakan atas kalian keindahan dunia dan perhiasannya." (HR. Al-Bukhariy no.1465 dan Muslim no.1052)

 

Dunia Itu Manis dan Hijau


Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan tentang keadaan dunia sekaligus memperingatkan ummatnya dari fitnahnya.


عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: ((إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللهَ تَعَالَى مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا، فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ))

Dari Abu Sa'id Al-Khudriy radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau. Dan sesungguhnya Allah subhanahu wa ta'ala menjadikan kalian pemimpin padanya. Lalu Dia akan melihat bagaimana amalan kalian. Maka takutlah kalian dari fitnahnya dunia dan takutlah kalian dari fitnahnya wanita." (HR. Muslim no.2742)

Sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, "Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau." Yakni manis rasanya dan hijau pemandangannya, memikat dan menggoda. Karena sesuatu itu apabila keadaannya manis dan sedap dipandang mata, maka dia akan menggoda manusia. Demikian juga dunia, dia manis dan hijau sehingga akan menggoda manusia.

Akan tetapi beliau shallallahu 'alaihi wa sallam juga menyatakan, "Dan sesungguhnya Allah subhanahu wa ta'ala menjadikan kalian pemimpin padanya." Yakni Dia menjadikan kalian pemimpin-pemimpin padanya, sebagian kalian menggantikan sebagian yang lainnya dan sebagian kalian mewarisi sebagian yang lainnya.

"Lalu Dia akan melihat bagaimana amalan kalian." Apakah kalian mengutamakan dunia atau akhirat? Karena inilah beliau shallallahu 'alaihi wa sallam memperingatkan, "Maka takutlah kalian dari fitnahnya dunia dan takutlah kalian dari fitnahnya wanita."



Harta dan Kekayaan yang Bermanfaat


Akan tetapi apabila Allah memberikan kekayaan kepada seseorang, lalu kekayaannya tersebut membantunya untuk taat kepada Allah, dia infakkan hartanya di jalan kebenaran dan di jalan Allah, maka jadilah dunia itu sebagai kebaikan.

Kita semua tidak bisa lepas dari dunia secara keseluruhan. Kita butuh tempat tinggal/rumah, kendaraan, pakaian dan lain sebagainya. Bahkan kalau benda-benda tadi kita gunakan untuk membantu ketaatan kepada Allah niscaya kita mendapatkan pahala. Sebagai contohnya adalah kendaraan. Kita gunakan untuk menghadiri majelis 'ilmu atau kegiatan lainnya yang bermanfaat. Bahkan kita pun bisa mengajak teman-teman ikut bersama kita. Dengan menggunakan kendaraan sendiri kita bisa menghindari kemaksiatan seperti ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram) dan lainnya.

Akan tetapi jangan sampai kendaraan ataupun harta benda duniawi menjadikan kita bangga, sombong sehingga akhirnya merendahkan dan meremehkan orang lain. Jadikan harta tersebut sebagai alat bantu untuk taat kepada Allah yang dengannya kita bisa menjadi orang yang bersyukur.

Bahkan sebagian 'ulama mewajibkan untuk memiliki kendaraan pribadi. Dengan kendaraan tersebut seorang muslim akan terhindar dari ikhtilath dan kemaksiatan lainnya. Sedangkan menghindari maksiat adalah wajib. Sementara di dalam kaidah ushul fiqh disebutkan, "Suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu adalah wajib."

Akan tetapi tentunya disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Jangan sampai karena ingin mendapatkan kendaraan, dia mati-matian mencari harta siang dan malam. Yang terbenak dalam otaknya adalah uang, uang dan uang. Sehingga lupa berdzikir kepada Allah, mempelajari agamanya, menghadiri majelis ilmu, shalat berjama'ah dan ketaatan lainnya.

Ingatlah selalu firman Allah subhanahu wa ta'ala,


فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

"Maka bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupan kalian." (At-Taghaabun:16)


لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (Al-Baqarah:286)

Oleh karena itulah, keadaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah dan pada keridhaan-Nya seperti kedudukan orang 'alim yang telah Allah berikan hikmah dan ilmu kepadanya, yang mengajarkan ilmunya kepada manusia.
Maka di sana ada perbedaan antara orang yang rakus/ambisi terhadap dunia dan berpaling dari akhirat dengan orang yang Allah berikan kekayaan yang digunakannya untuk mendapatkan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat dan dia infakkan di jalan Allah.


رَبَّنَا ءَاتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

"Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka." (Al-Baqarah:201)
Semoga Allah subhanahu wa ta'ala selalu membimbing kita untuk mengamalkan apa-apa yang dicintai dan diridhai-Nya serta memperbaiki urusan-urusan kita. Aamiin. Wallaahu A'lam.




Maraaji': Syarh Riyaadhish Shaalihiin 2/186-189, Maktabah Ash-Shafaa; dan Bahjatun Naazhiriin 1/528, Daar Ibnil Jauziy.

0 komentar:

Posting Komentar