Imam Syafi'i
Minggu, 13 Maret 2011
Suatu sore saya sedang bersantai dirumah sambil menonton televisi dan tangan saya menekan tombol remote untuk mencari program yang menarik. Lalu saya pun berhenti disebuah program yang digemari banyak orang. Di program tersebut manampilkan model yang akan meminta tolong pada seseorang untuk melakukan sesuatu atau membeli barang yang ditawarkan demi memenuhi kebutuhan si model itu sendiri, entah untuk beli beras, atau berobat. Lalu orang yang menolong tadi akan diberikan sejumlah uang sebagai tanda kasih karena sudah menolong dengan ikhlas.
Pada episode kali itu menampilkan seorang model nenek-nenek tua yang menjual seplastik cabai demi membeli obat cucunya yang sakit dengan harga Rp 30.000,00. Setelah berkeliling cukup lama, akhirnya sang model bertemu dengan seorang wanita yang juga tua umurnya sedang menjual toples-toples plastik. Setelah menawarkan sekantung cabai dengan memelas, akhirnya si ibu penjual toples bersedia membelinya dengan harga Rp 30.000,00.
Selang beberapa lama, seorang tim acara dengan menyamar sebagai tukang becak mendekati ibu penjual toples kemudian bercakap-cakap dengan si ibu yang kira-kira begini:
“Ibu jual toples ya?”
“Iya”
“Sudah berapa tahun?”
“Satu tahun”
“Suami Ibu?”
“Kerja jadi buruh, sehari diberi upah Rp 7.500 bila sedang sepi. Saya sendiri diberi Rp 10.000 sehari oleh majikan saya yang punya dagangan toples ini” katanya sambil menunjuk toples-toples.
“Anak-anak Ibu?”
Ibu itu terdiam mendengar kata ‘anak-anak’ lantas matanya berkaca-kaca dan berkata, “Ada dua, yang tua menganggur dan yang kecil jadi anak jalanan.”
Si tukang becak berkata sambil menepuk bahu ibu tersebut “Sabar ya Bu..”
“Mas, saya jadi sedih bila bercerita seperti ini, karena ingat sama anak saya yang selalu meminta dan memarahi orangtuanya yang bekerja keras demi mereka”
Saya terdiam dan terbawa suasana pada adegan tersebut.
Si tukang becak bertanya lagi, “Ibu punya rumah?”
“Ada, separuh. Separuhnya lagi dijual anak saya untuk membayar hutang, karena hutang anak saya banyak.” Air mata si ibu makin menderas dan saya makin merasa terharu.
Tukang becak mengelus punggung si ibu dan bertanya, “Apa Ibu menyesal?”
“Iya Mas, saya menyesal punya anak seperti mereka, lebih baik tidak punya anak saja sekalian. Saya selalu dimarahi karena tidak bisa memberi mereka uang. Bagaimana bisa? Untuk makan saja susah, bahkan rumah saya tidak bisa digunakan untuk berteduh disaat hujan karena atapnya bocor. Untuk mendadani rumah saja rasanya susah sekali.” Tangis si ibu makin menderas dan saya hampir menangis mendengar kata-kata sang ibu. Apalagi pada kata-kata “menyesal punya anak seperti mereka”, jujur saja tubuh saya jadi lemas saat itu karena bisa dibayangkan bagaimana sakitnya perasaan si ibu kepada anaknya sampai dapat berbicara seperti itu.
Saya teringat pada episode lain, ketika ada suami-istri berumur senja yang berprofesi menjadi pemulung sambil mendorong gerobak menolong seseorang (saya lupa minta tolong apa, karena episode ini sudah sekitar 3 bulan lalu). Tim acara tersebut juga mewawancarai suami-istri itu dan kata-kata yang meluncur dari bibir kakek-nenek tersebut menghentak hati saya hingga saya menitikkan air mata. Kira–kira begini:
“Nduk, mbok ya kamu pulang, nengok orangtuamu. Moso’ ya kamu tega tho menelantarkan orangtuamu sendiri, rumah Bapakpun kamu jual untuk kamu bagi-bagi sama sodara-sodaramu. Ibu sama Bapak ini sekarang tinggal di gerobak, Nak. Di jalanan. Bapak sama Ibu minta maaf sama kamu, kalo Bapak-Ibu punya salah. Nduk, Ibumu ini sekarang lagi sakit jantung, kadang kalo kumat sakitnya bapak dorong di gerobak ini (sambil menunjuk gerobaknya). Ibu sama bapak gak punya duit untuk berobat, butuh duit banyak, malahan untuk periksa saja ndak bisa. Mbok ya sini, tengokin Ibu sama Bapakmu yang udah tua.”
Waktu itu badan saya langsung lemas sedangkan air mata membasahi pipi lantas saya langsung lari memeluk ibu saya sambil berkata “Bu, maafin Anis, ya.” Terang saja ibu saya bingung. Kemudian saya tarik ibu saya kedepan televisi sambil saya ceritakan adegan di acara tadi. Ibu saya pun tersenyum dan mencium pipi saya lalu berkata,“Anak tidak akan bisa apa-apa kalau tidak ada orangtua. Siapa yang dulu nyebokin kamu waktu kamu pup, yang bikin susu kalau kamu haus, yang nyuci baju kamu kalau kamu ngompol, mengajari kamu jalan, mengajari kamu bicara, cari uang untuk makan, cari uang untuk bayar sekolah? Apalagi, siapa yang memberi kasih sayang kalo bukan orangtua? Kasih sayang orang lain pasti beda dengan kasih sayangnya orangtua. Giliran anak sudah besar, sudah bisa membantah omongan Ibunya, malah ngelawan. Padahal siapa yang menghidupi anak kalau bukan Ibu-Bapaknya?”
Saya hanya bisa tersenyum dan mencium pipi ibuku.
Saya jadi ingat bila saya suka mengeluh ini-itu bila disuruh orangtua. Masih suka merasa berat bila harus sekolah full day ke pondok di Lampung. Padahal jelas-jelas orangtua saya menyekolahkan ke pondok demi kebaikan saya sendiri. Apalagi ayahku tetap berjuang melawan sakit demi membiayai saya dan adik sekolah dan masih banyak perjuangan orangtua yang tidak dapat saya ceritakan saking banyaknya.
Jazakallah khairan katsiro untuk kedua orangtuaku yang selalu bersabar merawat kami, anak-anaknya dengan rasa kasih yang tiada terhingga. Bahkan kami, anak-anakmu tidak tahu caranya harus membalas dengan cara apa. Maafkanlah kami, bila setiap hari telah membuatmu letih lahir bathin mengurusi kami. Maafkanlah kami, bilamana kata-kata kami membuat senyumanmu dilunturkan airmata. Maafkan kami bilamana keringatmu dibalas dengan airmata. Abi, Ibu, maafkan segala perbuatan kami yang terlalu, dan bahkan kami sering tidak menyadari kesalahan-kesalahan kami kepadamu yang telah menggoreskan luka dihatimu.
Yaa Allah, ampunilah dosaku dan dosa orangtuaku, sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku sewaktu kecil, berikanlah mereka kebahagiaan dikala usia mereka senja. Berikanlah kami, anak-anaknya kesempatan untuk merawat mereka dikala mereka renta dan bangunkanlah istana disyurgaMu untuk mereka. Yaa Allah, kumpulkanlah kami sekeluarga dijannahMu, sesungguhnya tiada akhir yang paling bahagia selain berkumpul di syurga bersama orang-orang terpilihMu .
Amin Yaa Robbal ‘alamin.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar