Imam Syafi'i
Minggu, 13 Maret 2011
Wahai saudaraku!
Sesungguhnya Al Imam Al Hafidz Zainuddin Abul Faraj Abdurrahman bin Syihabuddin bin Ahmad bin Rajab Al Hanbali telah menulis sebuah kitab yang berjudul: Fadlu ‘Ilmis Salaf ‘ala ‘Ilmil Khalaf (Keutamaan Ilmu Salaf di atas Ilmu Khalaf).
Kitab ini sangat terkenal dan telah dimanfaatkan oleh umat Islam serta telah di tahqiq (diteliti).
Didalam kitab tersebut, beliau rahimahullah menjelaskan bahwa ilmu itu ada dua macam, yaitu ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang tidak bermanfaat. Berikut ini saya akan menyadurkan beberapa ucapan dan ungkapan beliau.
Ibnu Rajab di dalam kitabnya setelah menjelaskan apa yang dimaksud ilmu yang bermanfaat, lalu beliau menyebutkan bagian yang kedua (yaitu ilmu yang tidak bermanfaat pada hal. 16) dengan mengatakan:
“Sungguh Allah telah menceritakan tentang suatu kaum yang telah diberi ilmu, namun ilmu tersebut tidak bermanfaat buat mereka. Inilah ilmu yang bermanfaat pada zatnya saja, akan tetapi pemiliknya tidak bisa mengambil mafaat darinya. Allah subhanahu wa ta’alai berfirman:
“Perumpamaan orang yang dipikulkan kepadanya taurat, kemudian mereka tidak memikulnya (tidak mengamalkan isinya) adalah seperti (seekor) keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.” (Al Jumu’ah: 5)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang-orang yang telah Kami berikan kepada mereka ayat-ayat Kami (yakni pengetahuan tentang isi Al Kitab) kemudian mereka melepaskan diri dari ayat-ayat itu lalu dia diikuti oleh syaithan (sampai dia tergoda) maka jadilah ia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan memperturutkan hawa nafsunya yang rendah.” (Al a’raf: 175-176)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan Allah membiarkan dia sesat berdasar ilmu-Nya.” (Al Jatsiyah: 23)
(Saya membawakan) dalil ini berdasarkan ulama yang menafsirkan kata: ‘ala ‘ilmin (di atas ilmu), dengan: “Ilmu orang yang telah disesatkan oleh Allah.”
Di antara ilmu ada yang disebutkan oleh Allah, tetapi dalam rangka mecela ilmu tersebut, yaitu seperti ilmu sihir.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Danmereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, adalah baginya kerugian di akhirat.” (Al Baqarah: 102)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Maka tatkala datang kepada mereka Rasul-Rasul (yang diutus kepada mereka) dengan membawa keterangan-keterangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka dan mereka dikapung oleh adzab Allah yang selalu mereka perolok-olokkan itu.” (Ghafir/Al Mukmin: 83)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang kehidupan akhirat adalah orang-orang yang lalai.” (Ar Rum: 7)
Didalam As Sunnah juga telah menjelaskan pembagian ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang tidak bermanfaat, berlindung dari ilmu yang tidak bermanfaat dan meminta kepada Allah ilmu yang bermanfaat.
Di dalam shahih Muslim dari sahabat Zaid bin Arqam bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Ya Allah, aku meminta perlindungan-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyu’, jiwa yang tidak pernah merasa puas dan do’a yang tidak dikabulkan.”[10]
Kemudian Ibnu Rajab rahimahullah berkata lagi (pada hal. 51):
“Dan diantara perkara yang diingkari oleh ulama salaf adalah jidal (perdebatan), khisham (adu argumentasi), dan mira’ (bantah-membantah) dalam masalah-masalah yang jelas halal dan haramnya.
Karena ini bukanlah jalannya para Imam Islam, akan tetapi jalan yang dibuat oleh orang-orang yang setelah mereka, sebagaimana yang telah dilakukan oleh ulama-ulama Iraq dan Khurasan dalam perselisihan yang terjadi antara mazhab Syafi’i dan Hanafi.
Mereka mengarang kitab-kitab dalam masalah khilafiyah (perbedaan pendapat), memperluas masalah pembahasan dan memperdebatkannya dalam kitab tersebut.
Semuanya itu adalah perkara baru yang diada-adakan dan perkara ini akan menyebabkan mereka tersibukkan dengannya sehingga melupakan ilmu yang bermanfaat.
Semuanya itu telah diingkari oleh salaf, sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits marfu’ (hadits yang riwayatnya sampai kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam) yang terdapat dalam kitab Sunan:
“Tidaklah sesat suatu kaum setelah datang petunjuk kepadanya kecuali setelah diberikan kepada mereka ilmu jidal (debat).”
Kemudian beliau shallallahu’alaihi wa sallam membacakan (firman Allah subhanahu wa ta’ala):
“mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” (Az Zukhruf: 58)[11]
Sebagian dari ulama salaf mengatakan: “Jika Allah menginginkan kebaikan kepada seorang hamba, maka Allah akan bukakan baginya pintu beramal dan menutup baginya pintu jidal (debat). Dan apabila Allah menginginkan kejelekan bagi seorang hamba, maka Allah menutup baginya pintu beramal dan membukakan baginya pintu jidal.”[12]
Imam Malik rahimahullah berkata: “Saya mendapati penduduk negeri ini (yakni Madinah), mereka membenci perbuatan yang dilakukan oleh kebanyakan orang sekarang ini.”[13]
Yang dimaksud beliau rahimahullah adalah perkara-perkara yang berkaitan dengan masalah-masalah jidal, khisam dan mira’.
Imam Malik sangat membenci banyak berbicara dan berfatwa. Beliau rahimahullah berkata: “setiap mereka berbicara seperti onta yang kehausan, mereka berkata dia demikian, dia demikian (seperti orang yang) mengigau yang tidak jelas pembicaraannya.”
Bahkan beliau rahimahullah tidak mau menjawab dalam banyak permasalahan, kemudian beliau menukilkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Mereka akan bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah bahwa ruh urusannya ada di tangan Rabb-ku.” (Al Isra’: 85)
Kemudia beliau rahimahullah berkata: “Rasulullah tidak memberikan jawaban dalam masalah itu.”
Ditanyakan kepada beliau rahimahullah: “Apakah seorang dikatakan alim tentang sunnah padahal dia selalu memperdebatkannya?”
Beliau rahimahullah menjawab: “Tidak, akan tetapi sampaikanlah sunnah kepadanya kalau dia mau menerima, jika dia tidak mau menerima hendaklah diam.”
Beliau rahimahullah pernah berkata: “Al Mira’ (saling membantah) dan Al Jidal (saling berdebat) terhadap ilmu akan menghilangkan cahaya ilmu tersebut.”
Beliau rahimahullah berkata: “Debat terhadap masalah ilmu akan dapat mengeraskan hati dan mewariskan kedengkian.”
Dan beliau berkata dalam masalah-masalah yang ditanyakan kepadanya: “Saya tidak mengetahuinya.”
Jalan Imam Malik ini diikuti oleh Imam Ahmad dalam permasalahan ini. Dan telah datang larangan agar jangan banyak bertanya, memperdalam masalah yang keliru, dan permasalahan yang belum terjadi. Permasalahan ini sangat panjang kalau dijabarkan.
Adapun perkataan ulama salaf seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan Imam Ishaq, mereka di dalam membahas permasalahan fiqih dan menetapkan hukumnya mengatakan dengan perkataan yang pendek, ringkas, dan difahami maksudnya tanpa harus berbicara panjang lebar dan bertele-tele.
Demikian pula ketika mereka membantah pendapat-pendapat yang menyelisihi sunnah dengan bantahan yang lemah lembut dan menggunakan ungkapan yang baik. Dan hal ini cukup bagi orang yang memahaminya, jika dibandingkan dengan ungkapan-ungkapan ahlul kalam (orang yang hanya pandai berbicara).
Terkadang ucapan ahlul kalam sangat panjang lebar dan tidak mengandung unsur kebenaran, tidak seperti yang dikandung oleh ucapan ulama salaf dengan ucapan yang ringkas dan pendek.
Adapun diamnya mereka (ulama salaf) dari banyak berdebat dan membantah, bukan karena mereka bodoh atau lemah untuk berbuat itu, akan tetapi diamnya mereka karena ilmu dan takut kepada Allah.
Sebaliknya, semakin luas dan banyaknya pembicaraan orang-orang selain ulama salaf, bukan berarti mereka ahli dan menguasai ilmunya, akan tetapi ini semua karena mereka senang berbicara dan kurangnya sifat wara’ (rendah hati).
Al Hasan Al Bashri rahimahullah berkata ketika mendengar orang yang sedang berdebat: “Mereka itulah orang-orang yang telah bosan dari beribadah, orang-orang yang telah lemah akal, dan sedikit sifat wara’-nya sehingga mereka memperdebatkan dalam masalah tersebut.”[14]
Ja’far bin Muhammad berkata: “Berhati-hatlah kalian berdebat di dalam masalah agama, karena hal ini akan menyibukkan hati dan akan menimbukan sifat kemunafikan.”[15]
Umar bin ‘Abdul Aziz berkata: “Apabila kamu mendengar Al Mira’ (bantah membantah), maka ringkaskanlah.”
Dan beliau rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang menjadikan agamanya sebagai arena (sumber) perdebatan, maka dia akan sering berpindah.”[16]
Dalam kesempatan yang lain beliau berkata: “Salafus Shalih (orang-orang terdahulu yang shalih),mereka berhenti karena ilmu, dan mereka diam karena ilmu pula, serta mereka sangat mampu kalau mereka mau mencarinya.”
Dan masih banyak lagi ucapan ulama salaf yang semakna dengan ucapan ini. Orang-orang sekarang banyak yang terfitnah dengan permasalahan ini. Mereka menyangka bahwa orang banyak bicara, suka berdebat, dan membantah dalam masalah agama lebih berilmu dibandingkan dengan orang yang tidak demikian. Ini termasuk dari kebodohan mereka semua.
Lihatlah kepada para pembesar shahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan ulama-ulama mereka seperti Abu Bakar, Umar, Ali, Mu’adz, Ibnu Mas’ud dan Zaid bin Tsabit, ucapan mereka lebih sedikit daripada ucapan Ibnu Abbas, padahal mereka lebih pandai darinya.
Begitu juga ucapan tabi’in lebih banyak dari ucapan shahabat, padahal shahabat lebih berilmu dari mereka. Dan ucapan para tabi’ut tabi’in lebih banyak dari ucapan tabi’in padahal tabi’in lebih mengetahui dari tabi’ut tabi’in.
Ilmu itu bukan karena banyak meriwayatkan dan tidak pula karena banyak pendapat-pendapat, akan tetapi ilmu itu adalah cahaya yang terdapat di dalam hati, sehingga seorang hamba dapat mengetahui yang al haq dengan yang bathil. Semua ini diungkapkan dengan ungkapan-ungkapan ringkas dan dapat mencapai apa yang dimaksud.
Dan Nabi kita, Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam, telah diberi oleh Allah dengan sifat Jawami’ul Kalim (Ucapan yang singkat tetapi dapat mencapai apa yang dimaksud) dan ucapan-ucapan yang sangat ringkas.
Berdasarkan inilah, banyak terdapat larangan (di dalam agama) yang melarang banyak berbicara dan banyak mengutip ucapan berita yang belum jelas kebenarannya (qiila wa qoola).[17]
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak mengutus seorang Nabi pun kecuali ia sebagai penyampai (apa yang datang dari Allah) dan sesungguhnya banyak berkata itu adalah dari setan.”[18]
Apabila Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berkhutbah, maka beliau berkhutbah dengan singkat, ringkas dan sedang.[19]
Dan seandainya ada seseorang yang ingin menghitung ucapan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam sebuah hadits, niscaya dia pasti akan mampu menghitungnya.[20]
Beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya sebagian dari bayan (keterangan) adalah sihir.”[21]
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mengatakan yang demikian adalah dalam rangka mencela perbuatan tersebut, bukan dalam rangka memuji sebagaimana yang disangka oleh (sebagian) orang. Barangsiapa yang mengamati yang demikian itu, maka dia akan mengatahui dengan pasti.
Dala riwayat Imam At Tirmidzi dan selain beliau dari shahabat Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhuma secara marfu’ (sanadnya sampai kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam):
“Sesunggunya Allah sangat membenci seseorang yang banyak bicara dan bersilat lidah sebagaimana sapi yang menggerak-gerakkan lidahnya.”[22]
Masih banyak hadits-hadits yang marfu’ dan mauquf (ucapan shahabat) yang lain seperti ucapan Umar, Sa’ad, Ibnu Mas’ud, Aisyah dan selain mereka yang semakna dengan di atas.
Wajib diyakini, bahwa tidak setiap orang yang banyak ucapan dan pembicaraannya dalam masalah ilmu adalah lebih berilmu daripada orang yang tidak demikian.
Kita telah diuji dengan adanya orang-orang jahil yang meyakini terhadap sebagian orang-orang sekarang yang gemar menyibukkan diri dalam masalah banyak bicara adalah lebih berilmu dari orang-orang sebelumnya.
Bahkan diantara mereka meyakini pada seseorang karena banyaknya keterangan dan ucapannya adalah lebih pandai dari orang-orang sebelumnya dari kalangan shahabat dan orang-orang sesudah mereka.
Ini termasuk penghinaan terhadap kemuliaan shalafus shalih, berprasangka buruk terhadap mereka dan menisbatkan mereka kepada kebodohan dan kepada orang-orang yang kurang ilmunya. La haula wala quwwata illa billah.
Sungguh benar apa yang telah dikatakan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu tentang para shahabat:
“Sesungguhnya mereka adalah orang yang paling baik hatinya, paling dala ilmunya dan paling sedikit Takalluf-nya.”[23]
Diriwayatkan juga atsar (riwayat) yang seperti ini dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang setelah para shahabat adalah orang-orang yang sedikit ilmunya dan lebih banyak takalluf-nya.
Abdullah Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu juga berkata: “Sesungguhnya kalian berada pada zaman, dimana ulama kalian banyak dan para khatibnya (penceramah) sedikit dan akan datang pula kepada kalian suatu zaman, dimana ulamanya sedikit dan para khatibnya banyak. Orang yang terpuji adalah orang yang banyak ilmunya dan sedikit bicaranya. Dan sebaliknya, orang yang tercela adalah orang yang kurang ilmunya dan banyak bicaranya.”
(Selesai ucapan ibnu rajab Al Hanbali Al Baghdadi rahimahullah dalam kitabnya: Fadlu ‘Ilmis Salaf ‘ala ‘Ilmil Khalaf -ed).
Wahai saudaraku se-Islam;
Saya (penulis) telah banyak mengutip ucapan Al Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah, dan saya yakin bahwa faedah yang kita –sebagai penuntut ilmu- dapat darinya adalah sangat besar, jika kita membandingkannya secara teliti antara ilmu salaf dan ilmu khalaf (orang-orang yang datang belakangan).
Diantara haedah-faedahnya adalah:
1. Ilmu ada dua macam, yaitu ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang tidak bermanfaat.
2. Ilmu yang bermanfaat kadang-kadang diketahui oleh orang-orang yang tidak bisa mengambil manfaat darinya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan Allah menyesatkannya di atas ilmu.” (Al Jatsiyah: 23)
3. Kebencian dan pengingkaran ulama salaf terhadap ilmu jidal (perdebatan), khisam (adu argumentasi), dan mira’ (bantah-membantah) dalam masalah agama.
4. Al Mira’ dan Al Jidal (perdebatan dan bantah-membantah) adalah perkara bid’ah.
5. Imam Malik rahimahullah sangat membenci orang yang banyak bicara dan berfatwa. Beliau menyerupakan orang-orang yang banyak bicara dalam masalah agama seperti binatang yang kehausan.
6. Ulama salaf sederhana dalam hal ibarah (menyampaikan pembicaraan) dan mereka sangat memperhatikan sunnah daripada jidal. Apabila mereka membantah para penyelisih terhadap sunnah, mereka membantahnya dengan cara lemah lembut dan dengan sebaik-baik bantahan tanpa bertele-tele.
7. banyak ucapan dan pernyataan orang sekarang yang tidak menunjukkan kalau mereka memiliki kekhususan dalm bidang ilmu yang dimiliki oleh salaf, akan tetapi yang tampak adalah mereka senang berbicara, ingin mendapat pujian (dari manusia) dan juga menunjukkan sedikitnya sifat wara’-nya.
8. Al Hafizh Ibnu Rajab telah meneliti dan beliau mendapatkan bahwa ucapan shahabat lebih sedikit daripada ucapan tabi’in, ucapan tabi’in lebih sedikit dari ucapan tabi’ut tabi’in dan seterusnya. Dan semuanya ini memiliki arti dan makna.
9. Khutbah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam shalat jumat adalah sederhana artinya, ringkas dan padat, tetapi sunnah ini telah dilalaikan oleh kebanyakan khatib Jum’at sekarang ini.
10. Memakai kalimat-kalimat yang sulit dalamberbicara dan berpura-pura berkata fasih, serta banyak berbicara dalam masalah agama dan segala hal yang berkaitan dengannya. Hal ini bukan suatu sifat yang terpuji dalam pandangan ulama salaf, akan tetapi ini merupakan sifat yang tercela.
11. Adanya unsur penipuan dari seseorang yang banyak berbicara dan panjang khutbahnya sehingga keluar dari tujuan khutbah jum’at tersebut. Semua ini dilakukan untuk menarik perhatian orang. Dan tidak akan tertipu dari orang-orang yang seperti itu kecuali orang-orang yang ganjil dan lemah akal.
Dari sini kita mengetahuiperbedaan jalan yang telah ditempuh oleh para ulama Rabbaniyun. Tujuan dan niat mereka sangat lurus dalam memberikan bimbingan (kepada umat) dibanding jalan yang ditempuh oleh sebagian penuntut ilmu.
Semoga Allah memberi hidayah kepada mereka dan memberi taufik-Nya kepada kita sehingga kita akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat, tetap selalu terkait dengan manhaj slafus shalih ridwanullah ajma’in, kembali kepada ulama dengan (niat) yang ikhlas dan jujur, agar terwujudnya persatuan pemilik al haq dan supaya jiwa mereka menjadi bersatu.
Dan juga agar terwujud tolong menolong dalam kebaikan, bukan tolong menolong di atas dosa dan permusuhan.
Wabillahittaufiq.
Foot note:
[9]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitabul ‘Iman hal. 374 dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma yang panjang.
[10]. Lihat kitab Shahih Muslim (4/2088).
[11]. HR. At Tirmidzi (5/363), hadits no. 3253), dan beliau berkata: “Hadits ini hasan shahih”, Ibnu Majah dalam Al Muqaddimah (haditsz no. 48), Imam Ahmad dalam Musnad-nya (5/252-256), Al Hakim dalam kitab Al Mustadrak pada tafsir surat Az Zukhruf dan beliau berkata: “Sanadnya shahih”, serta disepakati oleh Adz Dzahabi, semuanya dari jalan shahabat Abu Umamah (Fadlu ‘Ilmis Salaf ‘ala ‘Ilmil Khalaf –ed).
[12]. Ini adalah pernyataan Ma’ruf Al karakhi yang diriwayatkan oleh abu Nu’aim dalam Al Hilyah (8/361), Al Khatib dalam Iqtidha’ul ‘Ilmi (hal. 80) dengan tahqiq Ustadz Al ‘Ajmi.
[13]. Diriwayatkan oleh Al Khatib dalam kitab Al Faqih wal Mutafaqih (2/9) dengan tahqiq Ustadz Al ‘Ajmi.
[14]. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Az Zuhd (hal. 272), dan Abu Nu’aim dalam kitab Al Hilyah (2/156) dengan Tahqiq ustadz Al ‘Ajmi.
[15]. Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (3/198) dengan tahqiq Ustadz Al ‘Ajmi.
[16]. Perkataan beliau: “Maka dia akan sering berpindah”, maksudnya adalah berpindah dari satu pemahaman atau madzhab ke pemahaman atau madzhab yang lain. Diriwayatkan oleh Ad Darimi (1/91) dan Al Ajurri dalam Asy Syari’ah (hal. 56-57).
[17]. Ibnu Rajab rahimahullah mengisyaratkan kepada hadits yang telah dikeluarkan oleh Imam Al Bukhari (3/340), (5/68), (10/405), (11/306), dan Imam Muslim (3/1340 dan 1341). Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dari shahabat Al Mughirah bin Syu’bah secara marfu’ dengan tahqiq Ustadz al ‘Ajmi berbunyi:
“sesungguhnya Allah membenci kalian (untuk melakukan) 3 perbuatan, yaitu: banyak mengutip ucapan (berita) yang belum jelas kebenarannya, menyia-nyiakan harta, dan banyak bertanya.”
[18]. Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf (11/163-164) dan ini termasuk dari mursal Mujahid dan dia dha’if (lemah) karena mursal, sebagaimana dikatakan oleh pentahqiqnya, Ustadz Al ‘Ajmi.
[19]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim (2/591) dengan tahqiq Ustadz Al ‘Ajmi dari shahabat Jabir bin Samurah radhiyallahu’anhu bahwa dia berkata:
“Saya shalat (jum’at) bersama Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, maka shalat beliau sedang dan khutbahnya juga sedang (waktunya).”
[20]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim (4/2296) dari hadits Aisyah radhiyallahu’anha bahwa dia berkata:
“Seandainya ucapan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam sebuah hadits dihitung (oleh seseorang), maka dia pasti dapat menghitungnya.”
[21]. Di dalam riwayat yang lain dengan lafadz:
“Sesungguhnya di antara susunan kata-kata yang indah terdapat sihir.” (HR. Bukhari-Muslim dari shahabat Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhuma –ed).
[22]. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (2/165 dan 187), Abu Dawud (5005), At Tirmidzi (2583), dan lafadz hadits ini adalah miliknya. Hadits ini ditahqiq oleh Ustadz Al ‘Ajmi.
[23]. Takalluf adalah membebani diri dengan hal-hal yang tidak bermanfaat baik di dunia maupun di akhirat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar