Imam Syafi'i
Senin, 25 April 2011
Argumen Pertama
Firman Allah -Subhanahu wa Ta’ala- dalam surah Yunus ayat 58 :
Firman Allah -Subhanahu wa Ta’ala- dalam surah Yunus ayat 58 :
“Katakanlah: Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik daripada sesuatu yang mereka kumpulkan”.
Mereka berkata, “Allah -Subhanahu wa Ta’ala- memerintahkan kita untuk bergembira dengan rahmat-Nya. Sedang Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- adalah rahmat-Nya yang paling besar. Oleh karena itulah, kita bergembira dan merayakan maulid (hari lahir) beliau”.
Di antara yang berdalilkan dengan ayat ini adalah seorang yang bernama Habib Ali Al-Ja’fary Ash-Shufy dalam sebuah kasetnya yang berjudul Maqoshidul Mu`minah wa Qudwatuha fil Hayah.
BantahanBerdalilkan dengan ayat ini untuk membolehkan maulid adalah suatu bentuk penafsiran firman Allah -Ta’ala- dengan penafsiran yang tidak pernah ditafsirkan oleh para ulama salaf dan mengajak kepada suatu amalan yang tidak pernah dikerjakan oleh para ulama salaf. Ini adalah perkara yang tidak diperbolehkan sebagaimana telah berlalu penegasannya pada bab Pertama.
Ibnu ‘Abdil Hady -rahimahullah- berkata dalam Ash-Shorimil Munky fir Roddi ‘alas Subky, hal. 427, “… dan tidak boleh memunculkan penafsiran terhadap suatu ayat atau sunnah dengan penafsiran yang tidak pernah ada di zaman para ulama salaf,yang mereka tidak diketahui dan tidak pernah pula mereka jelaskan kepada ummat. Karena perbuatan ini mengandung (tudingan) bahwa mereka tidak mengetahui kebenaran, lalai darinya. Sedang yang mendapat hidayah kepada kebenaran itu adalah sang pengkritik yang datang belakangan, maka bagaimana lagi jika penafsiran tersebut menyelisihi dan bertentangan dengan penafsiran mereka ?!”.
Para pembesar ulama tafsir telah menafsirkan ayat yang mulia ini dan tidak ada sedikitpun dalam penafsiran mereka bahwa yang diinginkan dengan rahmat di sini adalah Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-. Yang ada hanyalah bahwa rahmat yang diinginkan di sini adalah Al-Qur`an dan Al-Islam sebagaimana yang diinginkan dalam ayat sebelumnya, yaitu firman Allah -Ta’ala-:
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran dari Tuhan kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada, serta petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah: Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya …”. (QS. Yunus : 57-58)
Inilah penafsiran yang disebutkan oleh Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thobary -rahimahullah- dalam Tafsir beliau (15/105).
Imam Al-Qurthuby -rahimahullah- berkata ketika menafsirkan ayat di atas, “Abu Sa’id Al-Khudry dan Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- berkata, “Karunia Allah adalah Al-Qur`an dan rahmat-Nya adalah Al-Islam”. Juga dari keduanya (berkata), “Karunia Allah adalah Al-Qur`an dan rahmat-Nya adalah dia menjadikan kalian ahli Qur`an”. Dari Al-Hasan, Adh-Dhohak, Mujahid, dan Qotadah, mereka menafsirkan, “Karunia Allah adalah iman dan rahmat-Nya adalah Al-Qur`an”. [Lihat Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an (8/353)]
Imam Ibnul Qoyyim -rahimahullah- berkata dalam Ijtima’ul Juyusy Al-Islamiyah ‘ala Ghozwul Mu’aththilah wal Jahmiyah hal. 6, “Perkataan para ulama salaf berputar di atas penafsiran bahwa karunia Allah dan rahmat-Nya adalah Al-Islam dan As-Sunnah”.
Sesungguhnya yang menjadi rahmat bagi manusia bukanlah kelahiran beliau, akan tetapi rahmat terhasilkan hanyalah ketika beliau diutus kepada mereka. Makna inilah yang ditunjukkan oleh nash-nash syari’at :
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. Al-Anbiya` : 107)
Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- telah bersabda : “Sesungguhnya saya tidaklah diutus sebagi orang yang suka melaknat, akan tetapi saya diutus hanya sebagai rahmat”. (HR. Muslim no. 2599 dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-)
Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Humaid -rahimahullah- berkata ketika menyebutkan tentang Abu Sa’id Al-Kaukabury [Dia adalah orang yang pertama kali merayakan maulid di negeri Maushil sebagaimana yang telah berlalu penjelasannya], “Dia mengadakan perayaan tersebut pada malam kesembilan (Rabi’ul Awal) menurut yang dikuatkan oleh para ahli hadits bahwa beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dilahirkan pada malam itu (kesembilan) dan beliau wafat pada tanggal 12 Rabi’ul Awal menurut kebanyakan para ulama.” [Lihat kitab beliau Ar-Rasa`ilul Hisan fii Fadho`ihil Ikhwan hal. 49].
Maka betapa mengherankannya para pelaku maulid ini, mereka bergembira dan bersenang-senang pada tanggal diwafatkannya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- (12 Rabi’ul Awwal), sementara hari kelahiran beliau adalah tanggal 8 Rabi‘ul Awwal menurut pendapat yang paling kuat, maka apakah ada kerusakan dan kerancuan akal yang lebih parah dari ini?!
Ibnul Hajj -rahimahullah- berkata dalam Al-Madkhal (2/15), “Kemudian yang sangat mengherankan, bisa-bisanya mereka merayakan maulid disertai dengan nyanyian, kegembiraan, dan keceriaan karena kelahiran beliau -‘Alaihis sholatu wassalam- -sebagaimana yang telah berlalu- pada bulan yang mulia ini. Padahal pada bulan ini juga beliau -‘Alaihis sholatu wassalam- berpindah menuju kemuliaan Tuhannya -’Azza wa Jalla- (yakni wafat-pen.) yang mengagetkan ummat (para sahabat-pen.). Mereka (para sahabat) ditimpa oleh musibah besar yang tidak ada satu musibahpun yang mampu menandinginya selama-lamanya. Oleh karena itu, keharusan atas setiap muslim adalah menangis, banyak-banyak bersedih, dan merenungi dirinya masing-masing terhadap musibah ini …”.
Kemudian kita katakan kepada mereka, “Bukankah ayat ini turun kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- ?! Lantas kenapa beliau tidak pernah merayakan maulid sebagai bentuk pengamalan bagi ayat?! Kenapa juga beliau tidak pernah memerintahkan para sahabat dan keluarga beliau untuk melakukannya?! Padahal beliau adalah orang yang paling bersemangat mengajari manusia dengan perkara yang bermanfaat bagi mereka dan yang mendekatkan mereka kepada Penciptanya”.
(Rujukan : Al-Bida’ Al-Hauliyah hl. 173-177 dan Ar-Roddu ‘ala Syubuhati man Ajazal Ihtifal bil Maulid syubhat pertama)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar